Ulasan Film Garasi: Musik Sebagai Identitas dan Komoditas

Film Garasi Fedi Nuril Ayu Ratna
Musik tak bisa dilepaskan dari dunia manusia. Sepanjang peradaban manusia, sejak zaman Yunani Kuno hingga kapitalisme global saat ini, musik telah menjadi cerminan masyarakat seperti yang diungkapan oleh Adorno. Bahkan di zaman Yunani Kuno musik memiliki nilai sama pentingnya dengan sains (matematika). Musik serta teorinya merupakan salah satu dari empat kategori dalam sains: aritmetika, geometri, musik dan astronomi.
Melangkah ribuan tahun ke depan terutama pasca revolusi industri membawa musik dalam era baru. Kehadiran teknologi membuat musik bisa diproduksi massal melalui bentuk kaset, piringan hitam, CD. Berkat hal tersebut musik dapat disebarkan luaskan dan bisa hadir dalam keseharian kita. Fase ini pun menandai karya musik sebagai satu komoditas yang mulai jual belikan.
Lewat film Garasi garapan Agung Sentausa pada tahun 2006, kita dapat melihat secuplik kisah perkembangan musik sebagai satu identitas dan komoditas. Pemilihan Bandung sebagai latar cerita boleh jadi si pembuat ingin memberi pesan akan mengakarnya musik sebagai identitas anak muda saat itu. Pasalnya kota yang memiliki julukan Parijs van Java ini dikenal sebagai salah satu kota di Indonesia sebagai penghasil musisi handal dan diklaim sebagai kota musik. Dalam film ini juga diperlihatkan sebuah toko musik di mana tak sembarang orang bisa membeli karya musik. Si penjaga toko akan mengetes pengetahuan musik si pembeli terlebih dahulu. Tak hanya sebagai penanda musik sebagai identitas, lewat film ini membawa kita memahami fungsi musik sebagai alasan hidup manusia dalam lingkup kehidupan modern.  

Musik Sebagai Pelepas Kecemasan

Dalam buku Noise The Political Economy of Music menjelaskan bahwa Aristoteles membagi musik ke dalam tiga fungsi: “ethical” (kegunaaanya dalam edukasi/pendidikan), “of action” (dapat menjadi pengaruh bahkan untuk orang yang tak mampu memainkan musik), dan “cathartic” (memiliki tujuan sebagai pelepas kecemasan/kemarahan dan membuat tenang)  

Dalam film Garasi kita dapat menemukan bahwa musik berfungsi sebagai cathartic. Menceritakan band Garasi yang digawangi Gaia sebagai vokal (Ayu Ratna), Aga gitaris (Fedy Nuril), dan Awan drummer (Aries Budiman). Awan rela meninggalkan Jepang dan balik ke Indonesia untuk mengejar mimpinya bermusik bersama kawan lamanya, Aga. Awan digambarkan tidak bisa hidup tenang tanpa musik yang ia yakini sebagai salah satu tujuan hidupnya. Lalu bagi Aga musik adalah tujuan hidup di mana menjadi kanalisasi ego dirinya sendiri yang idealis. Sementara bagi Gaia musik adalah pelepas kemarahan akan masa lalunya, di mana ia tak dianggap oleh neneknya sendiri karena ia lahir bukan dari pernikahan. Ia merasa tersiksa dengan semua hal itu, terlebih lingkungan sosial membuat hal ini menjadi semakin runyam. Namun pada akhirnya mereka mampu berdamai dengan masa lalu berkat musik.

Plato dan Aristoteles menguraikan teori tentang “ethos” atau sifat moral dan efek-efek yang dihasilkan oleh musik. Lebih lanjut Aristoteles mengungkapkan bahwa musik menirukan dan menggambarkan emosi serta keadaan jiwa manusia. Dalam hal ini kita dapat melihat bentuk musik yang dihasilkan Garasi adalah rangkuman keluh kesah dari para personilnya.
Melalui film ini kita dapat menangkap bahwa musik memiliki fungsi sebagai identitas seseorang dalam menyampaikan pesan dan sebuah komoditas. Namun di era sekarang, di mana kemudahan akses musik terkadang membuat kita gagal memahami musik dan hanya melihatnya sebagai komoditas.  
Foto: miles

Share your love
Rulfhi Alimudin
Rulfhi Alimudin

Pekerja teks komersial dan penggambar rumah. Berminat sejarah, sastra, sepakbola dan properti.

Articles: 164

No comments yet

  1. Betul sekali, kini musik hanya sekedar komoditas, uang dan uang. Cari untung.Saya sangat pecinta musik, koleksi Pita Kaset maupun CD luamayan banyak. Mau dibuang sayang, tak dibuang gudang jadi penuh :DPada umumnya memang, Bandung yang sering menelurkan pemusik handal.

Leave a Reply