Terasing dan Tersingkir di Kota Jakarta

Terasing dan tersingkir di Kota Jakarta | Photo by Uray Zulfikar on Unsplash

Sudah tiga hari aku tinggal di kontrakan bang Mulim. Kontrakan berukuran tak lebih luas daripada toilet mall Senayan City, tapi cukup untuk dua orang bisa tidur nyaman dengan berubah-ubah posisi. Kontrakan bang Mulim berada di Tambora, Jakarta Barat. Bang Mulim adalah seorang satpam yang aku kenal di sebuah warung kopi di daerah Pekojan.

Aku mesti banyak bersyukur telah dipertemukan dengan bang Mulim. Pria yang memiliki perawakan besar, otot keras dan kepala pelontos benar-benar menolongku di kala susah seperti saat ini. Di mata warga sekitar, bang Mulim terkenal sebagai warga baik, ia gemar memberi pertolongan kepada orang lain, entah itu sekedar memberi jajan anak tetangga atau anaknya sendiri. Percayalah dia sosok yang baik. Boleh jadi bang Mulim adalah potret warga Jakarta yang keras tapi santun kepada pendatang seperti aku.

Aku bernama Suroso, seorang pemandu di Kota Tua Jakarta. Sehari-hari aku bekerja menemani turis dalam negeri maupun luar negeri yang menggunakan jasa biro wisata tempatku bekerja. Belum genap satu tahun aku merantau ke ibukota. Aku lahir dan besar di bawah kaki gunung Sindoro. Kala masih di kampung, Senin sampai Jumat aku bekerja membantu ayah di kebun, dan jika akhir pekan aku bekerja sebagai pemandu wisata di dataran tinggi Dieng.

Keputusanku untuk hijrah ke kota Jakarta murni dari keinginanku sendiri. Aku ingin merasakan denyut kota besar, di mana orang-orang terlihat sibuk dan tergesa. Di kampungku waktu seolah berjalan lebih lambat, orang-orang masih sempat ngopi dan bercengkrama dengan tetangga sebelum bekerja ke kebun.

Jakarta memang asing bagiku, ia tidak menaruh seorang pun yang aku kenal ketika pertama kali menyambangi. Meski begitu aku berusaha akrab dengan Jakarta. Namun mencoba akrab saja tak cukup. Hari pertama aku menginjak tanah ini, kesialan datang begitu cepat. Merusak tas dan menguras uang di dompet. Tak mudah untuk merelakannya, tapi tak mengapa, aku anggap itu santuan bagi warga Jakarta yang lebih sial.

Habis sial terbitlah beruntung. Dua minggu bekerja di biro wisata, aku mendapatkan pemasukan lebih alias tip dari para turis, terutama turis luar negeri. Total nominalnya sudah melebih uang yang tercopet di waktu lalu. Oh iya biro wisataku memperbolehkan karyawannya mendapatkan tip dari turis. Karena jujur saja, tempatku bekerja ini memberikan gaji dibawah UMR. Sehingga banyak yang mengandalkan pemasukan dari tip sukarela. Namun namanya sukarela, kita harus rela juga andai tidak mendapatkannya.

Namun beruntungku hanya berlaku sebentar saja. Menginjak bulan ketiga aku bekerja, yakni bulan Maret. Aku mendapatkan kabar bahwa seluruh pekerja berstatus kontrak akan dirumahkan sementara hingga waktu yang belum ditentukan. Artinya ini bulan terakhir aku dapatkan gaji. Tentu semua hal ini dampak dari menurunnya bisnis wisata akibat pandemi corona. Sehingga biro wisata kecil tempatku bekerja harus bertaruh demi perusahaannya tetap sehat dengan memangkas sejumlah karyawan. Kabar tersebut jelas membuatku kaget, ia bagai tikus berkepala anjing. Aku kaget dan harus percaya bahwa di dunia ini ada tikus berkepala anjing.

Baca juga: Preman Jaga Jarak

Harus diakui pandemi ini bukan hanya melemahkan sektor pariwisata tetapi sektor lainnya. Berjuta karyawan terancam kena PHK, ada juga yang terancam kena potongan gaji. Bekerja sebagai pemandu bukanlah pekerjaan yang bergaji besar, apalagi statusnya cuma kontrak.  

Tiga bulan gaji yang lalu habis untuk sekedar haha hihi mengobati kepenatan kota. Gaji lebih cepat berpacu daripada waktu. Uang menjadi penebus bagi waktu yang hilang. Namun itu tak selalu cukup. Sehingga di penghujung bulan hanya nestapa berlandaskan kesabaran.

Di saat seperti ini aku bertemu lagi dengan bang Mulim, sekedar curhat dan mencoba mengatasi kemalangan. Pasalnya belum ada kepastian kapan lagi biro travel wisata tempatku bekerja akan buka. Andai aku tetap kekeuh di sini aku mungkin hanya akan luntang-lantung. Sebab aku hanya bisa memandu dan memacul tanah. Sementara di Jakarta hanya ada tanah berbeton yang tak bisa dipacul oleh tangan. Hanya bisa dipacul dengan kekuasaan. Oleh karena itu aku lebih baik kembali pulang, dan mewartakan pada kawan di kampung bahwa Jakarta tak selalu ramah kepada pendatang. Sehingga menggarap kebun di kampung lebih masuk akal bagi kami.        

Ini ceritaku yang mungkin juga kamu rasakan. Mari bergandeng tangan, peluk tubuhku erat-erat bahwa kita tidak sendiri, masih ada harapan yang tersembunyi di balik semua ini. Sudah selayaknya kamu yang memiliki asa harapan lebih terang untuk memberi setitik cahaya kepada mereka yang asa harapannya mulai terlihat temaram. Aku menulis kisah ini dari kaki Gunung Sindoro, di mana ku kembali menjadi petani meneruskan warisan orang tua.

| Photo by Uray Zulfikar on Unsplash

 

Share your love
Rulfhi Alimudin
Rulfhi Alimudin

Pekerja teks komersial dan penggambar rumah. Berminat sejarah, sastra, sepakbola dan properti.

Articles: 164

No comments yet

Leave a Reply