Merawat Ingatan Kolektif Dalam Istirahat Kata-kata

Istirahatlah Kata-kata, film garapan Yosep Anggi Noen menarik rasa penasaran masyarakat luas. Ia sempat hadir di layar bioskop nasional dalam beberapa hari pada tahun 2017. Kehadirannya bagai oase ditengah serbuan film import. Film biografi ini telah memiliki bekal mumpuni untuk bersaing lantaran meraih penghargaan khusus dewan juri dalam kompetisi di acara Internasional Film Festival Love is Folly di Varna, Bulgaria pada tahun 2017. Setitik asa muncul bahwa ada masih ruang bagi film-film Indonesia/non populer tayang di layar bioskop nasional.

Di sisi lain, penikmat dan pengamat film memiliki kekhawatiran bahwa film ini bakal terjebak dalam stereotype film-film festival pada umumnya. Terjebak dalam alur lambat, cenderung segmented, muram berlebihan hingga sulit dipahami oleh orang awam. Namun penulis pikir, film berdurasi 90 menit ini berhasil lolos berkat kepiawaian Yosep dalam memilah adegan dan penggambaran visualiasi di dalamnya. Sentuhan puisi-puisi di beberapa scene mampu menghidupkan visualiasi di film ini.

Istirahat Kata-kata menceritakan tentang Wiji Thukul, seorang aktivis dan penyair yang melarikan dari kejaran pemerintah Orde Baru. Widji dianggap membangkang negara karena aktifitasnya pro demokrasi bersama buruh dan puisi-puisinya yang dianggap membahayakan pemerintah. Akibatnya ia harus melarikan diri ke Pontianak, Kalimantan Barat. Meninggalkan istrinya, Sipon beserta anak-anaknya di Solo, Jawa Tengah. Dalam pelarian, ia harus hidup dari satu ke tempat ke tempat lainnya dan mengganti identitasnya menjadi Paul. Ia hidup dalam kewaspadaan, kecemasan serta ketakutan lantaran bahaya bisa tiba begitu saja kepadanya.  

Moment kecemasan pertama terjadi ketika malam hari sepulang Thomas dan Thukul membeli minuman, seorang aparat militer menanyakan KTP. Thukul nampak kikuk, tak bisa menunjukan KTPnya. Kedua ketika Thukul ingin mencukur rambut diantar oleh temannya, Martin seorang aktivis dari Medan. Saat hendak memotong rambut, tiba-tiba datang seorang aparat militer. Si tukang cukur kemudian mendahulukan aparat militer. Sewaktu menunggu giliran, percakapan antara seorang aparat militer dengan Martin dan Thukul seorang menjadi interogasi. Dalam dua adegan itu setidaknya penonton berdegup kencang dengan apa yang bakal menimpa Thukul. Apa ia akan langsung ditangkap dan dipenjara langsung? Selain itu di beberapa adegan ketika Tukul tengah sendiri, penonton seolah disuruh untuk berdialog melalui visualisasi gambar, bunyi dan pelbagai momentum. Merasakan kegetiran yang dialami Thukul.

Baca juga: Resensi Film Room

Sang sutradara tentu harus berterima kasih kepada pada Gunawan Maryanto (Wiji Thukul) dan Marissa Anisa (Sipon) karena mampu memainkan peran dengan amat piawai. Mereka mampu mengeluarkan ekpresi penggambaran kegundahan, kegetiran, kesepian secara mendalam. Teknik pengambilan gambar pun semakin mengantarkan penonton kepada perasaan bahwa hal-hal ini merupakan kejadian yang merupakan bagian dari kehidupan yang kita alami juga.

Tentu tak mudah bagi seorang sutradara untuk menggarap film biografi yang terinspirasi dari seorang tokoh tak terlampau populer. Diperlukan teknik dan sentuhan dengan porsi pas guna menghadirkan sajian yang tak membosankan. Meminimailis percakapan dan mengubahnya dalam visualiasi gambar adalah langkah cerdas karena dapat mengantarkan perspektif lebih luas akan sosok siapakah Wiji Thukul dan bagaimana kiprahnya. Keberhasilan sebuah film tak melulu dikaitkan dengan seberapa besar penonton dan pendapatnya tapi tentang seberapa besar ia mampu membangkitkan dan merawat ingatan kolektif akan suatu peristiwa di masa lalu.   

#UlasFilmKemdikbud

Photo poster dari catchplay.com

Share your love
Rulfhi Alimudin
Rulfhi Alimudin

Pekerja teks komersial dan penggambar rumah. Berminat sejarah, sastra, sepakbola dan properti.

Articles: 164

12 Comments

  1. Saya jadi ingat pertama kali nonton ini sebelum masuk kuliah di pemutaran kampus. Saya datang sendiri untuk menonton. Salah satu bagian favorit saya (SPOILER ALERT) bagian pengejarannya. Apalagi saat Wiji Thukul lagi cukur dan ada aparat. Terus bagian siaran tv rusak, itu cukup memorable dikepala

  2. Wahh menarik juga ulasan tentang film ini, jadi tertarik buat nonton. Jujur saya nggak punya banyak refreserensi nonton film, sejauh ini saya lebih suka sama film luar yg bergenre thriller dan psikopat2 gitu, bahkan saya lupa kapan terakhir kali saya nonton film dalam negeri, kalaupun ada saya lebih tertarik sama film2 dokumenter, karena isu-isunya menarik menurut saya pribadi.Kalau jenuh sesekali nontonin romance yg menye2 yg sekali lihat udah tahu endingnya kayak gimana hehe.Oh ya, kalau kamu tertarik sama film dengan isu politik gini, coba deh nontonin film 'Designated Survivor'.

  3. Gunawan Maryanto sebagai orang teater emang piawai aktingnya, kalau Marissa Anita meski udah dimehong2 tapi cantiknya sulit ditutup. Sebagai film biopik tentu bagus, apalagi film begini di Indonesia cuma ngangkat pahlawan2 baheula dan jarang yg humanis. Tapi Istirahatlah Kata-kata rada bikin tunduh oge sih.

Leave a Reply