Sepanjang Jalan Dewa(ta)

Gunung Tilu Dewata
Pedati kerbau berjalan di jalanan tengah hutan Gunung Tilu. Roda besi pedati menggilas tajamnya bebatuan. Benturan roda besi dengan bebatuan menghasikan dentuman suara. Suara yang memecah kesunyian hutan Gunung Tilu. Pedati itu membawa teh hijau hasil dari perkebunan teh Dewata menuju Rancabolang. 17 Km harus ditempuh menembus lebatnya hutan Gunung Tilu melalui jalan berbatu. Hamparan batu tersebut sengaja dihampar sebagai pelapis perkuatan jalan. Jalan tersebut dikenal sebagai jalan makadam. 

Mendengar jalan makadam sontak melambungkan ingatan saya kepada mata pelajaran konstruksi jalan. Salah satu mata pelajaran yang saya ikuti ketika menempuh jurusan teknik sipil. Makadam dan saya jelas mempunyai keterikatan. Bukan hanya sebagai materi perkuliahan, tetapi makadam telah memberi banyak cerita dalam karir momotoran saya. Salah satu cerita terbaru yang saya lewati bersama makadam, berasal dari jalan makadam Gunung Tilu. Makadam Gunung Tilu bukan hanya menyiksa ban motor saya, lebih dari itu ia telah banyak berjasa meninggalkan pegal-pegal di badan.

Nyatanya teknologi shockbreaker yang tertanam di sepeda motor, terlalu sungkan untuk menekan keganasan jalan makadam. Makadam berjaya, McAdam pun tersenyum. Ketahanan jalan makadam dalam kondisi apapun telah mengantarkan ia menjadi teknologi yang masih digunakan hingga kini. Bahkan jalan-jalan di Indonesia yang menghubungkan satu kampung ke kampung lainnya masih menggunakan jalan makadam sebagai tulang punggung utama. Sedangkan di perkotaan makadam telah bertransformasi menjadi struktur bawah dari kontruksi jalan raya sebelum di hamparkannya cairan hitam pekat bernama aspal.

Baca juga: Aku, Kalian, dan Pengalaman Menuju Dewata

Saya tentu tak dapat membayangkan betapa tersiksa jika saya harus melewati jalan makadam di Gunung Tilu dengan pedati. Tanpa ban berteknologi karet, shockbreaker hingga jok empuk, badan ini mungkin akan habis terkoyak-koyak. Motor dengan teknologi terbaru pun dibuat kepayahan. Perjalanan kemarin menembus jalan makadam dan rimbunnya hutan Gunung Tilu menuju Perkebunan Teh Dewata banyak menuai cerita. Beberapa teman bahkan langsung mengabadikannya menjadi catatan perjalanan yang dimuat dalam blog. 
Makadam Perkebunan teh Dewata

Jalan Menuju Perkebunan Teh Dewata | © Komunitas Aleut

Perkebunan Teh Dewata yang sudah berdiri sejak 1932, memiliki daya pikat tersendiri. Perkebunan yang menghasilkan teh hijau ini dikelola oleh swasta. Salah satu daya pikat dari Perkebunan Teh Dewata ialah panorama alamnya yang memanjakan mata. Ini memang benar adanya kala kiriman video dari seorang kawan yang menegaskan keindahan bumi Dewata. Rasa penasaran dan belum tuntasnya janji untuk menginjakan kaki di bumi Dewata, membawa saya dan rombongan bertekad untuk menuntaskan momotoran menuju Dewata.

Pabrik teh Dewata Ciwidey

Pabrik Teh Dewata | © Komunitas Aleut
Namun matahari pulang lebih cepat dari biasanya hingga kami sampai di tanah Dewata dengan kondisi gelap, dingin dan basah. Tapi bukan masalah. Kami hanya perlu menurunkan sedikit ekspetasi agar tak terlampau kecewa. Sebab dengan menurunkan ekspetasi sepiring lotek yang dicampur baso pun terasa nikmat tiada duanya. Terlebih kami harus mengingat perjuangan menuju ke Perkebunan Teh Dewata bukanlah hal yang mudah. Kami harus menempuh jalan makadam, lebatnya hutan Gunung Tilu dan beberapa accidentyang menimpa rekan seperjalanan.
Kini pemandangan alam Dewata tak begitu berarti.Hanya hitam pekat terlihat. Kami harus segera memikirkan caranya pulang. Sebab bukan hanya sekedar jalan makadam yang menjadi tantangan. Tapi perjalanan menembus gelapnya hutan menjadi momok yang menakutkan. Hutan belantara yang masih menjadi habitat macan tutul dan surili, membuat kami harus selalu waspada dalam perjalanan pulang. Ketakutan akan binantang buas dan tajamnya batu menjadi bayang-bayang yang enggan pergi. Ketakutan itu menjadi hantu yang bersemayam dalam pikiran masing-masing.  Meminjam kata-kata Abdullah Harapap dalam buku Misteri Perawan Kubur: “Hantu hanya ada dalam khayalan manusia-manusia penakut. Semakin mereka takut, semakin mereka percaya.”
Melewati gelapnya hutan Gunung Tilu memunculkan imajinasi saya akan munculnya makhluk-makhluk liar yang keluar dari dalam pikiran saya. Mulai dari munculnya kelinci berwajah babi dari semak belukar, babi berwajah kelinci hingga dinosaurus bergigi kelinci yang mungkin saja dilemparkan dari periode Flintstones. Beruntunglah saya dibuat waras dengan mengingat buku “On The Road” Jack Kerouac yang belum saya tuntaskan. Dan tentunya nona manis asal kebon kopi yang saat itu menjadi boncengan saya yang tetap menjaga kewarasan dalam berkendara.
Ketakutan, kecemasan dan kengerian itu terus berangsur hilang kala saya melihat seberkas cahaya kuning yang terpancar dari bohlam sebuah rumah warga. Terlihat remang memang. Tapi sudah cukup membuat hari lega. Cahaya remang lampu bagaikan harapan yang menyambut saya akan berakhirnya jalan makadam, gelapnya hutan gunung tilu dan bayang-bayang mahkluk dalam pikiran saya. Hingga saya benar-benar lega ketika melihat indomaret.  
Share your love
Rulfhi Alimudin
Rulfhi Alimudin

Pekerja teks komersial dan penggambar rumah. Berminat sejarah, sastra, sepakbola dan properti.

Articles: 164

Leave a Reply