Gerimis dan Muslihat Yusi Avianto Pareanom di Kineruku

“Mas Yusi baru saja sampai di Bandung menggunakan travel, sekarang menuju ke sini, sebentar lagi sampai,” kata-kata itu disampaikan oleh Budi Waskito selaku moderator di acara bincang buku Muslihat Musang Emas di Kineruku, Jumat (16/02/2018).

Melihat jeda waktu yang masih kosong, saya memutuskan pergi ke toilet sejenak. Dari jauh pintu toilet tampak tertutup. Di depan pintu toilet, saya melihat lukisan ilustrasi hitam tentang situasi sebuah kota dan masyarakatnya. Selang beberapa detik setelah itu terdengar suara “Di dalam ada yang ngisi ya?”

Bagi saya wajah itu tidak asing dan bukan sebuah muslihat, dia Yusi Avianto Pareanom, dengan kacamata khasnya dan kemeja hitam. Saat sudah sampai di Kineruku bukan pembaca yang ditemuinya malah toilet lebih dulu, mungkin seorang penulis juga tidak kuat menahan diri saat kebelet kencing. Karena tidak ingin menunggu, Yusi akhirnya pergi ke toilet belakang.

Bincang Buku Yusi Avianto Pareanom di Kineruku

Kedatangan sang bintang menandai bedah buku hari itu dibuka. Rakhmat Hidayatulloh yang mengaku sebagai penikmat sastra mendapat kesempatan pertama untuk mengomentari buku kumpulan cerpen Muslihat Musang Emas ini.

Menurutnya ini seperti filming cocok untuk dibuat film dengan sutradara dari pihak Kineruku. Prediksinya kemungkinan besar akan masuk festival film di Cannes. Baginya, semua cerpen yang ada dalam buku ini sungguh menghibur, cerpen yang ia sukai berjudul “Samara” menceritakan tentang perjalanan hidup.

Yusi Avianto Pareanom belum mengeluarkan satu atau dua patah kata, ia masih diam dalam beberapa menit ini. Moderator lalu memberikan kesempatan padanya untuk bercerita, tak ada satu pun cerpen yang ia ceritakan kesempatan itu malah dilemparkan kepada para peserta bedah. “Silahkan bertanya saja, nanti akan saya coba jawab,” katanya.

Diam dalam hening kembali terjadi. Belum ada peserta yang memberanikan diri bertanya. Sampai ada seseorang yg mengangkat tangannya keatas sebagai penanya pertama. Namanya Arif, dia mengomentari kalau buku ini adalah kumpulan cerpen islami. Pertanyaan darinya menyoal bagaimana ritual sang penulis pada saat menulis buku kumpulan cerpen ini?

Komentar lain yang cukup tajam ia ungkapkan lagi. Buatnya dari buku-buku Yusi terdahulu seperti “Rumah Kopi Singa Tertawa” dan “Raden Mandasia” dalam buku terbarunya ini penulis mengalami degradasi.

Yusi menjawab kalau soal degradasi, semua ia serahkan pada pengalaman pembaca masing-masing. Dalam proses menulis tidak ada ritual yang istimewa, karena sudah ada bahan jadi ada yang dituliskan. Awalnya dari kegelisahan dulu.

Buku Muslihat Musang Emas digarap tahun 2017 selama 2 bulan. Semua materi sudah dipilih dan disusun sejak awal. Budi Waskito turut menyimpan rasa penasaran tentang setengah dari cerpen dalam buku ini bicara tentang kematian dan penulis senang sekali menganiaya tokoh-tokohnya. Tidak semuanya mati memang, tapi ada yang hampir mati saat si tokoh menderita kanker otak.

Tentang kematian pada setiap tokoh, pada dasarnya setiap dari kita akan menghadapi itu. Tinggal bagaimana menghadapi dan mempersiapkannya. Yusi turut bicara tentang konsep sains masa depan, bagaimana di masa depan nanti manusia bisa berumur sampai 100 tahun dan hidup abadi. Itu mungkin saja terjadi kalau memang penemuannya ada.

Mendekati masa akhir dari acara bedah buku. Seorang perempuan yang datang jauh-jauh dari Cirebon menanyakan hal yang cukup kritis. Nada suaranya terdengar berbeda dan penuh penghayatan. Dia penasaran dengan sosok Yusuf Al Uraizy dengan kutipannya Ashalu Al-Maanah Al-Insaniyah atau Asal-Muasal Derita Manusia yang ada di halaman awal bukunya. Lalu berlanjut dengan bagaimana olok-olok keseharian bisa begitu menarik ketika dituliskan. Sampai dengan muatan politik yang ada di buku kumcer ini.

Yusi tidak bicara banyak tentang sosok Yusuf Al Uraizy karena sudah jelas ini buku fiksi itu artinya tokoh itu juga adalah fiksi semata. Untuk membuat olok-olok atau derita yang dialami tokoh itu seolah nyata, dia mencontohkan cerita dari penulis Katharine Susannah Prichard tentang sepasang suami istri yang membuka usaha sirkus, untuk membuat usahanya terus bertahan satu persatu anak mereka yang lahir dibuat cacat untuk menarik simpati dari penonton saat pertunjukan. Semua derita yang dibuatnya meyakinkan pembaca.

“Tugasmu sebagai penulis adalah membuat karakter-karakter yang bisa diterima oleh pembaca.”

Langit memancarkan warna terbaiknya, pepohonan yang rindang disekeliling area bedah buku memberi kenyaman tersendiri. Belum lagi ada teh hangat, pisang goreng, dan cemilan alakadarnya yang diberikan secara cuma-cuma. Pengelola Kineruku mengingatkan kepada moderator kalau mulai turun gerimis. Bedah buku diakhiri sudah lalu berlanjut dengan sesi tanda tangan dan foto bersama penulis.

Sesi tanda tangan berjalan dengan tenang dan tertib. Gerimis hanya muslihat saja, umurnya tidak berlangsung lama. Hadiah paling indah sore itu, saya bisa melihat pelangi diatas awan sembari membawa pikiran pada perjalanan menemukan sosoknya yang bukan Muslihat seperti Musang Emas.

Share your love
Hamdan Yuapi
Hamdan Yuapi

Home brewers

Articles: 10

Leave a Reply