Sejarah mencatatkan berbagai kisah perjalanan manusia dengan berjalan kaki. Tentu perjalanan pertama manusia ditempuh oleh Nabi Adam dan Hawa. Keduanya berjalan kaki untuk saling bertemu di suatu tempat yang telah ditakdirkan.
Dalam konteks masa lalu berjalan kali diidentikkan sebagai salah satu cara untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Cara ini dilakukan mengingat belum ada transportasi yang diciptakan, paling joss yah pakai kuda. Itu pun tidak sembarang orang yang bisa pakai.
Di Jawa Barat sendiri khususnya Bandung, saya mengenal kejadian jalan kaki yang cukup syarat emosi dan peluh. Pertama Peristiwa Bandung Lautan Api, meninggalkan secarik kisah tentang pengungsian warga Bandung saat itu. Warga Bandung diharuskan berjalan kaki berpuluh kilometer ke arah selatan (sampai Majalaya) untuk mengungsi dari pembumihangusan Bandung.
Peristiwa tersebut masih dapat ditelusuri oleh kita. Salah satu bukti bahwa perjalanan ini benar-benar terjadi adalah sepanjang jalan raya Bandung menuju Majalaya dinamai Jalan Laswi (Laskar Wanita Indonesia). Salah satu laskar bentukan Yati Aruji (Istri Arudji Kartawinata), yang turut mengungsi ketika peristiwa tersebut.
Kedua kisah longmarch Siliwangi, pasukan divisi III Siliwangi harus hijrah dari Jawa Barat menuju Yogyakarta. Ini berkaitan dengan perjanjian Renville yang menyepakati pihak Republik harus menyerahkan Jawa Barat pada Belanda.
Peristiwa ini sangat fenomenal bagi Indonesia, karena tak hanya prajurit Siliwangi saja yang hijrah tapi diikuti oleh keluarga, istri dan anak mereka. Dari Jawa Barat ke Yogyakarta kemudian kembali lagi ke Jawa Barat.
Baca juga: Aku, Kalian dan Pengalaman Menuju Dewata
Kedua peristiwa tersebut bisa menjadi cerminan bahwa berjalan kaki tak bisa dilepaskan dari kisah manusia. Namun di tengah arus modern seperti sekarang, berjalan kaki jarak jauh, dirasa hal tak lumrah. Lantaran kini sudah tercipta berbagai macam moda transportasi yang bisa mengangkut seseorang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Akan tetapi percayalah bahwa masih ada yang terpaksa berjalan kaki dengan berbagai alasan dan motif tertentu. Semua bermula dari perbicangan di grup WhatsApp. Seorang kawan mengshare informasi tentang kakek yang minta ongkos untuk pulang dari Bandung menuju Sumedang.
Lalu seorang anggota grup menimpali bahwa seperti ada yang aneh dengan hal tersebut. Kemudian seorang kawan lain berbagi pengalaman bahwa kejadian seperti itu pernah menimpa dirinya dan itu hanya modus untuk mencari uang. Menjual iba.
Dari sana sontak perbincangan melebar, hingga menemui titik temu bahwa sebagian anggota grups pernah melakukan jalan kaki jarah jauh (dalam hal ini lebih dari 10 km). Ada yang berjalan kaki dari kampus di daerah Bandung utara hingga ke Bandung Selatan, ada juga yang jalan kaki dari Nagrek menuju Soreang. Bagi yang ga tahu sama daerah ini, waktu dan tempat kami persilahkan untuk buka google maps.
Mayoritas dari alasan kenapa bisa berjalan kaki sejauh itu adalah tak adanya ongkos. Maklum saat itu mereka adalah pemuda-pemudi yang masih mengandalkan subsidi dari orang tua. Sehingga uang masih tergolong seret, dan mudah tergoda dengan jajanan.
Saya pun memiliki pengalaman berjalan kaki jarak jauh di kota orang. Tepatnya di Yogyakarta. Saat itu saya beserta kedua teman mengunjungi Yogyakarta untuk mengantar seorang kawan pamit ke kantornya sambil membawa barang-barangnya ke Bandung.
Baca juga: Sepanjang Jalan Dewa(ta)
Saya sengaja ikut untuk nebeng jalan-jalan di kota Gudeg tersebut. Pasca turun dari Stasiun Lempungan, saya diajak berjalan kaki menuju Malioboro. Saya kira jaraknya dekat, ternyata lumayan jauh bagi saya yang tidak biasa jalan kaki. Malam harinya dari Malioboro beranjak menuju Pasar Condronegaran Gedong Kiwo memakai trans Yogyakarta. Di sana kami berencana makan dimsum. Karena terlampau malam dari Pasar Condronegaran Gedong Kiwo tak ada trans Yogyakarta. Akhirnya kami harus berjalan kaki menuju Malioboro. Iki perjalanan bikin dengkul aus rek. Beruntung Jogja saat itu masih sejuk-sejuk dingin sehingga keringat tak bercucur terlalu deras.
Saya tak mencatat berapa kilometer yang sudah kami tempuh, tapi ketika melihat google maps. Saya kira sudah jaraknya cukup lumayan rek. Saya merasa dikerjain oleh teman saya, tapi apa daya seorang kawan emang harus begini saling mengerjain biar ada cerita. Sisi baiknya saya hemat ongkos, lumayan ongkosnya bisa dipake jajan enak, bakpia tugu dan ngopi senja. Singkat malam hari itu juga kami pun pulang ke Bandung memakai kereta. Selama di kereta kami tertidur lelap.
Tentu dari hal ini saya berasumsi bahwa pada kondisi tertentu manusia akan disisipi kisah tentang jalan kaki. Entah itu dalam kondisi terjepit hingga dikerjain oleh kawan. Seperti kata iklan susu kesehatan, ayo jalan kaki sepuluh ribu langkah setiap hari.
Padahal kagok long march Siliwangikeun ieu, dari Jogja ke Bandung melintas gunung lewati mbah-mbah.
Sok tah kajeun muruhkeun urang mah. Dagoan di Nagrek we.