Sudah hampir dua bulan ini saya mendapati banyak orang yang bertahan hidup dari menjual barang-barang berharga yang tersisa di rumahnya. Mayoritas mereka adalah pekerja yang dirumahkan atau pekerja yang kena PHK akibat pandemi covid-19
Kendati begitu di tengah kondisi serba sulit ini masih ada orang baik yang mengulurkan bantuan untuk teman-teman yang kena phk, seperti panutan kita bernama Kokok Dirgantoro hingga pemikiran kreatif dari anak muda yang menginisiasi platform subsidi silang bernama bagirata.id.
Selain dari mereka yang mencoba bertahan dari dana bantuan, ada juga yang lebih beruntung yakni mereka yang masih bisa bekerja dari rumah dan mendapatkan gaji dengan potongan seperkian persen atau mereka yang mencukupi kebutuhannya dari uang simpanan hasil menabung.
Berbicara menabung rasanya kita hampir semua akrab dengan kebiasaan baik ini. Saya sendiri sejak bangku sekolah dasar sudah diajarkan untuk menabung. Tentu saya masih ingat dengan buku tabungan berlogo tut wuri handayani berwarna merah atau biru itu. Setiap berangkat sekolah saya disuruh menyisihkan uang jajan untuk menabung atau lebih tepatnya diberikan uang khusus untuk ditabung.
Sebelum belajar dimulai biasanya kami akan menyetor buku tabungan yang di dalamnya sudah berisi uang kepada ibu guru. Setelah pembelajaran di kelas usai kami akan mendapatkan kembali buku tabungan itu, di mana di dalamnya sudah tercatat nominal tabungan masing-masing. Biasanya tabungan ini baru bisa diambil ketika kenaikan kelas saja.
Beranjak dewasa dan memiliki penghasilan sendiri saya mulai menyadari bahwa menabung bukan kebiasaan yang bisa dilakukan oleh semua orang. Tentu banyak faktor penyebabnya mulai dari perilaku konsumtif hingga memang gaji yang tak cukup untuk disisihkan menjadi tabungan.
Oh iya, saya tidak sedang mencoba melakukan pembenaran atau klarifikasi terhadap perilaku konsumtif sebagai alasan tak menabung. Cukup para youtube pemuja adsense yang melakukan klarifikasi. Saya malah teringat cerita kawan beberapa pekan yang lalu soal menabung.
Baca juga: Cinta Sepertu Perangko, Awas Terjebak Jadi Pasangan Clingy
Seorang kawan pernah berkeluh kesah karena setiap bulan dia tidak bisa menyisihkan uangnya. Dia mulai cemas kalau sewaktu-waktu membutuhkan dana darurat entah untuk biaya rumah sakit atau lainnya. Saya tak segera menanggapinya.
Jika menilai sekilas, teman saya ini seharusnya dipandang sebagai seseorang yang bisa menabung. Dia tidak berprilaku konsumtif, makan saja bisa dihitung dengan jari saking hematnya. Dia juga belum menikah dan memiliki gaji UMR kota Bandung.
Setelah mendengar cerita dari obrolan dengan dia, saya baru mengetahui bahwa dia memiliki tanggungan lebih dari tiga orang mulai dari orang tua sampai adik-adiknya. Sehingga alokasi gaji umrnya habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya, saudaranya dan orang tuanya.
Bisa dibayangkan gaji UMR tentu cukup untuk menghidupi satu orang dengan layak, kalau dua orang masik layak, kalo tiga harus bersiasat agar layak, tapi kalau sudah lebih dari itu rasanya sudah tidak layak lagi.
Tentunya dengan kondisi seperti itu membuat urusan menabung menjadi nomor sekian. Bagaimana bisa memikirkan menabung kala kebutuhan sanak famili dan urusan perut belum terpenuhi. Kalau pun bisa menabung rasanya tak bakal lama uang tabungan itu tersimpan karena pastinya bakal terpaksa diambil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selain itu mereka yang tak miliki tabungan dan memiliki banyak tanggungan sangat berpotensi terjerambab dalam situasi sandwich generation atau generasi sandwich. Generasi yang terhimpit dari krisis finansial.
Istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Professor Dorothy A. Miller pada 1981 dalam jurnal berjudul “The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging“. Dalam jurnal tersebut, Dorothy menjelaskan generasi sandwich sebagai generasi orang dewasa yang harus menanggung beban hidup orang tua dan anak-anaknya. Ia rentan mengalami tekanan pasalnya menjadi tulang punggung keluarga.
Tentu membantu kebutuhan orang tua adalah keinginan dari banyak orang, namun dengan gaji UMR apa daya harus banyak bersiasat: bagi sini bagi sana, hingga tak terasa kantong menjadi kering. Apalagi kita hidup di negara yang masih mengkelasduakan kesejahteraan kelas pekerja.
Ketika pengeluaran lebih besar daripada pendapatan, semua ahli ekonomi tentu bakal sepakat untuk bilang carilah pemasukan lain seperti jalani bisnis sampingan. Dalam banyak kasus pengeluaran untuk membuat usaha sampingan terkadang malah lebih mirip menjadi jebakan finasial. Niatnya mencari untung malah buntung, akhirnya malah nambah hutang.
Kalau pun tak buntung, bagaiamana pembagian waktu dengan pekerjaan utama yang sudah menghabiskan waktu. Bisa-bisa kelas pekerja hanya kebagian capeknya saja dan tak lagi bisa menikmati nikmatnya bercinta.
Menutup hal ini saya ingat ucapan kawan yang sangat kiri bahwa revolusi tak bisa dilakukan dengan perut kosong. Begitu juga menabung tak bisa dilakukan dengan perut kosong, karena urusan perut tak bisa ditunda apalagi sampai dikorbankan. Pada akhirnya urusan menabung benar-benar menjadi privilese saja. Tentang siapa yang miliki jabatan dan gaji berlipat ganda.
Ilustrasi gambar dari Alvaro Reyes di Unsplash