![]() |
Photo by Patrick Tomasso on Unsplash |
Aku tak pernah bosan untuk mengikuti mata pelajaran mengarang. Aku bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk menuliskan kisahku yang dibumbui imajinasi. Seolah tak ada beban, aku meracau semauku, dan itu menyenangkan.
Majalah Bobo dan buku berjudul Lima Sekawan adalah dua barang yang membuatku gemar membaca dan menulis. Namun dua barang itu adalah barang spesial, pasalnya aku baru bisa membacanya di masa libur sekolah. Di luar hari libur aku diharuskan membaca buku mata pelajaran.
Beranjak remaja aku tak pernah kehilangan kesenangan untuk menulis. Aku mulai menulis berbagai pengalaman dalam sebuah blog pribadi. Yah, saat itu aku SMK, di sekolahku terdapat mata pelajaran yang mengajarkan siswanya untuk membuat blog berbasis blogspot. Perkenalakan dengan dunia blogger berawal dari sini.
Semakin sering menulis di blog, aku merasa tulisanku tak berkembang. Aku sedikit berpikir apa aku kurang membaca, aku tak tahu. Hingga aku menemukan sebuah komunitas bernama Jamban Blogger. Satu komunitas yang diisi oleh para blogger seIndonesia. Aku mulai rajin blogwalking untuk mencari ide tulisan. Terkadang aku meniru ide lalu mengolahnya dengan caraku sendiri.
Baca juga: Jamban Blogger Jamban Dari Segala Jamban
***
Dalam sebuah wawancara yang dimuat dalam buku Gabriel Garcia Marquez: Wawancara Terakhir dan Percakapan-Percakapan Lainnya, Sastrawan asal Amerika Latin itu mengatakan bahwa tak ada cara lain belajar menulis selain belajar dari novel lain.
Marquez seolah mengatakan bahwa belajar menulis itu haruslah kepada penulis. Proses membaca dan menulis ulang adalah cara terbaik untuk belajar menulis secara otodidak. Dari sejumlah biodata penulis yang pernah aku baca mayoritas dari mereka adalah orang-orang yang gemar menyalin hingga menerjemahkan tulisan.
Berangkat dari sana aku pun mencoba menyalin buku dan menerjemahkan artikel berbahasa asing dengan kemampuan bahasa asingku yang terbatas. Yah, dari sana aku merasa ada sedikit perubahan dalam gaya menulisku, entah itu dari pemilihan diksi hingga cara bertutur. Terkadang aku merasa seperti Haruki Murakami, di kesempatan lain merasa seperti Multatuli yang tengah mengkritisi pemerintahan Hindia Belanda.
Selain itu aku pun mulai mengikuti forum diskusi dan workshop penulisan guna menambah relasi dan pengetahuan. Dalam sebuah workshoppenulisan yang diadakan oleh Pandit Football pada tahun 2018, Zen RS pernah mengatakan bahwa apa yang kita tulis hari ini, mungkin saja di masa depan bakal menjadi salah satu sumber primer pengetahuan dan informasi.
Baca juga: Upaya Menebar Virus Literasi
Menulis adalah salah satu cara memotret kisah yang berjalan di masa kini untuk dibagikan dan tersimpan hingga masa yang akan mendatang. Tentu aku tak pernah jumawa untuk menjadi penulis yang akan mengubah peradaban, itu terlalu adiluhung. Namun aku masih yakin bahwa apa yang dituliskan aku hari ini bakal memberi manfaat bagi sebagian orang.
Hingga detik ini di tengah kesibukan lain aku masih menyimpan semangat untuk terus belajar menulis agar menjadi penulis yang terus belajar menulis.
Artikel ini ditulis sebagai salah satu syarat mengikuti training content creator yang diadakan pikiran rakyat media network.
Semangat terus kawan.. Dimana ada kemauan disitu ada jalan.Soal masalah merasa stagnan, wajar saja toh. Justru bagus punya perasaaa itu karena berarti menyadari sisi kekurangan. Yang berbahaya itu yang sudah merasa lebih, jadi nggak mau belajar lagi.Tetaplah jaga mentalitas blogger pemula sampai kapanpun. Tetaplah merasa kurang. Jadi kita akan terus terdorong untuk belajar.Jangan pernah merasa tulisan kita itu bagus. Biarkan kita terus “lapar”.Dengan begitu kita akan terus mencoba-mencoba-mencoba untuk menjadi lebih baik
Terima kasih mas, kata-katanya membangkitkan gairah saya bahwa jalan ini harus benar-benar itempuh. Yakin dengan bekal yang ada. Terkadang obor saya padam di jalan. Bertemu dengan blogger seperti mas menyalakan api tersebut.