Ca Bau Kan: Merekam Kekerasan Perempuan Di Hindia Belanda

Cau Bau Kan Ferry Salim Tionghoa

Sejumlah aliansi perempuan mendesak DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Namun harapan itu harus menuai jalan panjang dan berliku, lantaran DPR mengeluarkan RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Progelnas) 2020. Tentu menjadi sangat penting untuk segera mengesahkan RUU PKS, mengingat ia menjadi instrumen penting yang bisa melindungi korban kekerasan seksual dan menindak tegas pelakunya

Kekerasan memang memiliki jalan panjang, ia sudah lahir sebelum bangsa Indonesia lahir. Ia bisa menimpa perempuan maupun laki-laki. Dalam prakteknya tindak negatif ini hadir dalam bentuk verbal maupun non verbal. Namun tak sedikit orang yang masih menganggap hal tersebut biasa. Melalui film Ca Bau Kan (2002) karya Nia Dinata, kita akan melihat bahwa kekerasan seksual yang menimpa perempuan sudah terjadi sejak negeri ini bernama Hindia Belanda. Selain itu film ini memperkenalkan budaya Tionghoa sebagai bagian dari keragaman Indonesia.  

Perempuan Sebagai Objek Kekerasan

Ca Bau Kan merupakan film Indonesia yang kental dengan budaya Tionghoa di masa kolonial Belanda. Menurut bahasa Hokkian Cau Bau Kan berarti perempuan, yang saat zaman kolonial memiliki konotasi negatif, perempuan penghibur atau simpanan orang Tionghoa.

Dalam film ini berkisah pada pencarian kembali asal usul, orang tua dari Giok Lan (Niniek L. Karim). Nantinya penonton akan dibawah dalam alur mundur yang berpusat kepada dua tokoh yakni Tinung (Lola Amaria) dan Tan Peng Liang (Ferry Salim). Diceritakan bahwa Tinung perempuan betawi yang terpaksa harus ‘bekerja’ di Kali Jodo, Batavia (sekarang Jakarta). Sementara Tan Peng Liang adalah pedagang tembakau kiau-seng (peranakan Tionghoa) asal Semarang.

Hidup tanpa naungan yang jelas, membuat Tinung kerap berada di lingkungan yang diwarnai kekerasan. Ia sekali dua tiga kali bahkan lebih menerima kekerasan tersebut. Singkat cerita Tinung yang saat itu tengah bekerja sebagai penari dan nyanyi cokek, ditaksir oleh Tan Peng Liang. Kedua pun saling jatuh cinta.    

Baca juga: Hindia Belanda ke Indonesia, Dari Wijkstensel Hingga PSBB

Kehadiran Tan Peng Liang menyelamat sejenak Tinung dari praktek kekerasan. Akan tetapi karena persaingan bisnis dan kasus uang palsu menyeret Tan Peng Liang ke penjara. Ia pun diceritakan kabur ke Macau. Akibat hal tersebut Tinung kembali sendiri dan luntang-lantung, ia pun kembali menerima kekerasan di era penjajahan Jepang, Jugun Ianfu.  

Melalui film ini kita dapat berkaca bahwa pada masa itu perempuan seperti Tinung masih sebagai objek. Mereka terpaksa tak berdaya dan menerima hal tersebut. Mengingat hak perempuan masih dipandang sebelah mata. Andai mereka ingin hidup aman harus berada diketiak laki-laki. Praktek ini semakin terlihat kala mempertontonkan kentalnya budaya patriarki, kecenderunngan memandang rendah perempuan.

Dalam sebuah percakapan di sebuah tempat ibadah, Ibu Tan Peng Liang (Maria Ontoe) menuturkan bahwa jangan pandang perempuan dari tampangnya. Ini mengisyaraktan dua sisi, pertama perempuan saat itu menyadari bahwa kaumnya dipandang sebagai objek, kedua kesadaran akan hak dalam kesamaan gender sudah terbangun, namun masih dalam sekat-sekat yang sempit. Yakni berkelindan dalam pemikiran perempuan tertentu.

Melalui film Ca Bau Kan mensyaratkan sebuah pesan bahwa perjuangan kesetaraan perempuan harus didukung oleh lelaki maupun perempuan itu sendiri. Saya pun mengapreasisi hadirnya film ini di timeline perfilman Indonesia, lantaran berani mengambil corak Tionghoa dalam alur penceritaannya.   

Foto courtesy youtube

Share your love
Rulfhi Alimudin
Rulfhi Alimudin

Pekerja teks komersial dan penggambar rumah. Berminat sejarah, sastra, sepakbola dan properti.

Articles: 164

No comments yet

  1. Haduuh, nggak tahu kenapa saya suka sedih kalau bahas tentang isu-isu kekerasan terhadap perempuan, mungkin karena banyaknya ketidak adilan tentang perempuan yang saya lihat di sekitar saya. Baca tulisan ini saja saya jadi mellow.Saya pernah menyaksikan betapa perempuan harus membayar mahal akan budaya patriarki ini. Dulu saat kelas dua SD, kakak kelas saya di perkosa, hebooh banget, tapi sayangnya yang di hebohkan bukan bagaimana mencari pelaku dan mencari solusi untuk kakak kelas saya alias korban, malah hebooh tentang keperawanan. “Susah tu nanti gak ada yang mau lagi”, “Makanya jangan percaya begitu aja sama tukang ojek” (kebetulan pelaku adalah tukang ojek langgannanya). Dan beberapa tahun kemudian, teman baik kakak saya yang masih duduk dikelas enam SD yang di perkosa sama anak SMP, dia nangis ketakutan dinikahin sama pemerkosanya, masyarakat malah sibuk nyalahin bilang “sudah untung mau dinikahin” saya ingat ini jadi miris banget. Yang terakhir senior saya pas kuliah yang diperkosa sama tetangganya yang sakau gara2 nge-drug, pas lagi mandi di rumahnya sendiri. Lagi-lagi yang disalahin adalah keluarga kakak itu, ngapain bikin kamar mandi terpisah dari rumah, ngapain mandi nggak pake basahan. Rasanya pengen bercarut.Kenapa sih cara pikir mereka bisa sebobrok itu? Maksudnya mereka juga perempuan gituloh. Ah, sudah lah, nanti saya makan hati sendiri.Btw, saya suka postingan di sini yang bahas-bahasin tentang film dalam negeri, mungkin karena saya jarang nonton film bikinan bangsa sendiri.

  2. Saya prihatin dan pilu membaca kisah yang kamu ceritakan. Bagaimana hancurnya mental si korban dengan situasi yang malah menyudutkan dia. Padahal dia butuh suport. Belakangan ini saya juga berpikir soal keharusan si pemerkosa untuk nikahin si korban. Pasalnya si korban pasti sangat trauma dengan si pelaku, ini disuruh hidup bareng. Lah makin trauma donk.Situasi seperti begitu jelas sangat buruk, dan tidak baik² saja. Saya pun berharap kamu bisa jaga teman, keluarga dan orang sekitarmu dari tindak kekerasan. Terima kasih sudah berkunjung, ke depannya saya akan terus mengulas film² Indonesia. Sebuah ikhtiar kecil dalam rangka memperkenalkan film² karya sineas tanah air.

  3. Saya lupa, kayaknya sih belum pernah nonton secara lengkap film ini, pernah liat di TV tapi sepotong-sepotong.Dan saya sedih banget, mengetahui bagaimana wanita yang sering dijadikan objek pelecehan sejak dulu.Yang bikin saya nggak habis pikir itu adalah, apakah orang-orang itu nggak pernah pelajari, dari mana mereka lahir?Apa ibunya pohon atau batu kali ya?geram sekali, rasanya kekerasan wanita itu terjadi di semua bagian bumi ini 🙁

  4. Dan yang lebih menyedihkan lagi, kekerasan terhadap perempuan sekarang ini ditambah lagi oleh pandangan orang bahwa si perempuanlah yang justru menjadi pemicu kekerasan tersebut, bisa dari busana, perilaku, dsb.

  5. Film ini bisa dilihat juga di youtube mbak. Saya sebagai lelaki pun merasa sedih bilamana melihat kekerasan yang menimpa perempuan. Padahal kalo itung² jasa kaya nya perempuan lebih banyak jasa. Cuma kadang tidak terexpose dan dianggap suatu pencapaian.

Leave a Reply