Sebatas Rindu


Sebatas Rindu Upitea.com
Photo Credit to Pinterest
Langit biru berubah menjadi hitam pekat. Bulir-bulir hujan mulai berjatuhan di langit Bandung. Aku hanya terpaku di sudut tembok roti di jalan terusan Buah Batu. Hembusan angin menusuk setiap inchi tulangku . Kain hangat yang aku pakai rasanya tak cukup menghangatku. Aku terpaksa berteduh oleh sang hujan. 

Sore hari itu aku ada janji untuk bertemu dengan wanita bermata sipit, kulit putih khas Indo dan penampilannya selalu tampil fashionable . Maklum saja dia adalah model yang kini pindah ke Jakarta. Wanita yang telah lama kutunggu kepulangannya ke Bandung. Wanita inilah yang telah mengenalkanku pada dunia photografi yang aku geluti sekarang. Kepulangannya ke Bandung sangat mengejutkanku , bisa dikatakan ini sangat mendadak dan aku belum mempersiapkan kejutan kecil untuk kedatangannya ke kota ini tempat dimana dia tumbuh dan dibesarkan. 
Jalan Dago 137 jadi tempat pertemuan kami. Bukan tanpa sebab kami memilih tempat ini, tempat inilah yang menjadi saksi pertemuan aku dengan dia. Walau memang harus aku akui awal kenalan dengan dia tak terlalu mulus. Aku gagal dan terbata-bata saat mengucapkan namanya. Tapi dengan polosnya dia tertawa dan mengatakan namanya memang susah diucapkan dan kamu orang yang paling lucu mengucapkannya. Hanya senyum kecil yang aku balas. Tapi pertemuan kali ini mungkin akan sedikit terlambat. Sebenarnya aku sudah berangkat lebih awal, namun saking terburu-burunya aku lupa membawa jas hujan. Dan hujan datang lebih awal. 
Aku sudah membayangkan wajah cemberut dia saat menungguku. Dia memang orang yang selalu tepat waktu dan aku orang yang sebaliknya. Aku dan dia memang bisa dikatakan selalu berbalikan, tetapi itulah yang selalu membuat kita punya topik obrolan yang tak pernah habis, kadang bisa berujung dengan perdebatan. Aku memang selalu suka membuat dia cemberut entah karena sikapku. Bukan tanpa sebab aku melakukan  itu, entah kenapa aku selalu suka dengan wajah cemberut dia, rasanya malah nambah gemes. Selalu kupandangi wajahnya hingga dalam hitungan 10 detik dia akan mencubitku. Lalu aku akan melemparkan sebuah lelucon yang akan merubah sekejap cemberutnya menjadi tawa.  
Aku masih disini di depan toko roti menunggu hujan reda. 10 menit berlalu hujan makin deras, 20 menit berlalu hujan makin deras lagi, 30 menit berlalu hujan makin deras deras lagi, 40 menit berlalu hujan mulai reda, 50 menit berlalu hujan mulai reda lagi, 60 menit berlalu hujan benar-benar reda. “Yap akhirnya reda juga”. Maka dengan segera aku starter motor matikku dan melaju meninggalkan toko roti. Perlahan dengan pasti jalanan aspal Terusan Buah Batu aku libas, kunaikan tarikan gas motorku, satu persatu mobil aku salip, seketika aku harus menarik rem karena traffic lamp berubah dari hijau ke merah. Aku harus sedikit bersabar dengan traffic lamp ini karena cukup dikenal dengan traffic lamp yang mempunyai durasi cukup lama. Langit sore itu setelah hujan menciptakan paduan warna yang biasa orang-orang sebut pelangi, seakan ini sebuah pertanda baik. 
Akhirnya setelah 30 menit diperjalanan, aku sampai di jalan Dago 137. Aku bergegas masuk dan menuju  meja yang telah kami reservasi. Hanya terlihat kursi kosong dimeja itu , tak ada wanita yang aku akan temui. Tak berselang lama seorang pelayan menghampiriku, memberitahuku bahwa wanita yang sedang aku tunggu sedang ke toilet. Alangkah leganya aku mendengar itu. Aku pun segera duduk di kursi, dan benar saja tak perlu waktu lama muncul serorang wanita dengan perpaduan cardigan dan rok menghampiriku. Yah wanita inilah yang selalu aku tunggu kedatangannya ke Bandung. Apa yang sudah kubayangkan sebelumnya benar saja terjadi. Tapi semua bisa aku kendali kan seketika. Lantas aku memulai obrolan. 
“Kenapa kamu pulang lebih cepat daripada jadwalnya yang telah dibuat”
“Aku hanya pulang untuk memastikan kamu tidak nakal dan tidak kesepian di Bandung”
“Tenang saja aku tak terlalu kesepian selama kamu menelpon dan bercerita setiap malam, walau memang tak dapat mengobati semua kerinduan untuk bertemu”
“Sudah kuduga kamu akan menjawab itu yah”
“Iya donk gimana kerjaan modeling kamu di Jakarta”
“Yah berjalan seperti biasanya”
Kami mengobrol kesana kemari, hingga tak terasa 30 menit telah berlalu dan kami memutuskan untuk cepat pulang. Dan sesampainya dirumah kami mengobrol lagi dengan dia, dia yang telah menjadi saudara perempuanku.
Share your love
Rulfhi Alimudin
Rulfhi Alimudin

Pekerja teks komersial dan penggambar rumah. Berminat sejarah, sastra, sepakbola dan properti.

Articles: 164

No comments yet

Leave a Reply