Ketika Neoliberalisme Melahap Dunia

grand theft auto

Neoliberalisme adalah istilah lama, berasal dari tahun 1930-an, tetapi telah dihidupkan kembali sebagai cara untuk menggambarkan politik kita saat ini – atau lebih tepatnya, jangkauan pemikiran yang dimungkinkan oleh politik kita.

Sebagai buntut dari krisis keuangan tahun 2008, itu adalah cara untuk mengambinghitamkan atas bencana yang terjadi, bukan pada partai politik, tetapi pada sebuah pembangunan yang telah menyerahkan otoritasnya ke pasar. 

Selama beberapa tahun terakhir, ketika perdebatan telah menjadi semakin buruk, istilah itu telah menjadi senjata retorik, sebuah cara untuk menuduh bagi siapa pun orang kiri telah berpindah haluan satu inci ke kanan. 

Tidak heran para sentris mengatakan bahwa ini adalah penghinaan yang tidak berarti: mereka adalah orang yang paling dihina karenanya. 

Namun “neoliberalisme” lebih dari sekadar pujian yang benar. Ini juga, dengan caranya, ibarat sepasang kacamata.

Baca juga: Neoliberalisme: Gagasan yang Melahap Dunia

Mengintip melalui lensa neoliberalisme dan kita melihat lebih jelas bagaimana para pemikir politik yang paling dikagumi oleh Thatcher dan Reagan membantu membentuk cita-cita masyarakat sebagai semacam pasar universal (dan bukan sebuah polis, sebuah ranah publik atau semacam keluarga, misalnya) dan manusia sebagai kalkulator untung-rugi (dan bukan pembawa anugerah, atau hak dan kewajiban yang tidak dapat dicabut).

Tentu saja tujuannya adalah untuk melemahkan negara kesejahteraan (welfare state) dan komitmen apa pun untuk mendapatkan pekerjaan penuh, dan – selalu – untuk memotong pajak dan deregulasi. 

Namun “neoliberalisme” menunjukkan sesuatu yang lebih dari daftar keinginan standar sayap kanan. Ini adalah sebuah cara menata ulang realitas sosial, dan memikirkan kembali status kita sebagai individu.

Masih mengintip lewat lensa tadi, kita melihat bagaimana, bahwa seperti negara kesejahteraan, pasar bebas adalah penemuan manusia. Kita melihat betapa luasnya kita sekarang didesak untuk menganggap diri kita sebagai pemilik bakat dan inisiatif kita sendiri, betapa kita diperintahkan untuk bersaing dan beradaptasi. 

Kita melihat sejauh mana suatu bahasa sebelumnya terbatas pada penyederhanaan papan tulis yang menggambarkan pasar komoditas (persaingan, informasi sempurna, perilaku rasional) telah diterapkan pada semua masyarakat, sampai ia telah menyerbu kersik kehidupan pribadi kita, dan bagaimana sikap penjual telah menjadi terjerat dalam semua mode ekspresi diri.

Singkatnya, “neoliberalisme” bukan hanya sekedar nama untuk kebijakan pro-pasar, atau untuk kompromi dengan kapitalisme keuangan yang dibuat berkat kegagalan partai-partai sosial demokratik. Ini adalah nama untuk premis bahwa, diam-diam, telah datang untuk mengatur semua yang kita praktikkan dan percayai: bahwa kompetisi adalah satu-satunya prinsip pengorganisasian yang sah untuk aktivitas manusia.

Tidak lama setelah neoliberalisme disertifikasi sebagai kenyataan, dan tidak lama setelah itu membuat jelas kemunafikan universal pasar, ketimbang para populis dan otoriter yang berkuasa. 

Bukan hanya itu pasar bebas menghasilkan sedikit kader pemenang dan tentara pecundang yang sangat banyak – dan yang kalah. Sejak awal, ada hubungan tak terelakkan antara ideal utopis pasar bebas dan kehadiran distopia di mana kita menemukan diri kita; antara pasar sebagai pengungkap unik dari nilai dan penjaga kebebasan, dan kecenderungan kita saat ini mengarah pada pasca-kebenaran (post-truth) dan iliberalisme.

Dulu ada sekelompok orang yang menyebut dirinya kaum neoliberal, dan melakukannya dengan bangga, dan ambisi mereka adalah revolusi total dalam pemikiran. Yang paling menonjol di antara mereka, Friedrich Hayek, tidak mengira dirinya akan berposisi dalam spektrum politik, atau membuat alasan bagi orang kaya tolol, atau mengotak-atik setiap sudut mikroekonomi.

Dia pikir dia memecahkan masalah modernitas: masalah pengetahuan obyektif. Bagi Hayek, pasar tidak hanya memfasilitasi perdagangan barang dan jasa; dirinya mengungkapkan kebenaran. Bagaimana ambisinya ambruk ke dalam kebalikannya – kemungkinan pembelokan pikiran itu, terima kasih kepada pemujaan tanpa berpikir kita tentang pasar bebas, kebenaran mungkin ditendang dari kehidupan publik secara bersamaan?

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 266

Leave a Reply