Photo by engin akyurt on Unsplash |
Terhitung pertengahan minggu lalu saya memutuskan untuk diet berita hingga waktu yang belum tentukan. Keputusan ini diambil setelah saya merasa terlalu cemas dan menjadi overthingking dengan segala pemberitaan di media massa akhir-akhir ini.
Hampir media massa memberitakan tentang virus corona atau covid-19, dalam perspektif saya semua pemberitaan mengarah ke berita negatif (bad news) seperti jumlah pasien positif corona semakin bertambah, tim medis kehabisan APD dan sebagainya. Kalau pun ada berita positif entah itu tentang kesembuhan pasien, dan sebagainya seperti jarum dalam jerami. Jumlahnya sangat kecil dan jarang menjadi headline lalu viral.
Malangnya lagi mayoritas berita yang saya dapat berasal dari sosial media dan whatsapp grup keluarga. Berita dari media sosial lebih banyak mendatangkan debat kusir para netizen atau para influenzer bodong ketimbang sebuah solusi dan berita dari whatsapp grup keluarga terkadang malah cendrung hoak.
Pada fase awal mungkin saya bisa menangkal segala kabar hoak dan menyaring berita untuk dikonsumsi. Namun lambat laun saya mulai merasa lelah dan tak mampu lagi untuk memahami setiap informasi yang tersaji. Informasi yang datang bagaikan air kiriman dari bendung Katulampa. Benteng filter informasi yang telah saya bangun mulai runtuh, saya pun mulai merasakan stres, bingung, cemas, sedih, dan panik.
Psikoterapis psikoanalisis, Prof Brett Kahr mengatakan: “orang-orang kewalahan dan dibombardir oleh setiap oleh setiap jenis komunikasi. Kamu bisa merasa seperti papan panah, dihantam oleh sepenggal berita kecil – tidak ada yang dipersonalisasi atau berbelas kasih, sehingga bisa terasa seperti penganiayaan psikologis,” dikutip dari laman the guardian.
Kahr menambah salah satu cara untuk mengurasi dampak dari siklus berita non-stop adalah dengan membatasi waktu yang kamu habiskan membaca atau menonton berita di ponsel kamu.
Langkah saya nyatanya untuk membatasi segala berita memang benar, saya perlu rehat sejenak. Saya pikir, saya pun sudah punya cukup informasi untuk tidak merepotkan petugas medis dan pemerintah yang sudah cukup kerepotan menanggapi wabah ini. Yakni dengan berdiam di rumah dan melakukan physical distancing, WFH dan pastinya rajin cuci tangan.
Rehat sejenak, saya berpikir rasa cemas yang melanda beberapa hari yang lalu tidak semerta-merta karena pemberitaan saja, tapi ada faktor lain seperti berada jauh dari orang tua, uang makin menipis, tak ada jaminan kesehatan, menempelnya predikat jomblo hingga soal film yang ditonton terakhir kalinya.
Film terakhir yang saya tonton adalah Contagion. Sebuah film yang dibuat pada tahun 2011, belakangan film ini ramai diperbicangkan lantaran dikabarkan menjadi film ramalan soal virus corona. Film ini menceritakan soal pemaparan virus yang menginfeksi hampir seluruh dunia. Dalam tempo 133 hari, virus ini menewaskan satu persen populasi di bumi.
Penyebaran virus tersebut hampir sama dengan situasi sekarang yakni melalui udara, droplet, bersentuhan tangan hingga melalui barang yang telah dipegang oleh yang terinfeksi. Dalam film tersebut ditampilkan bagaimana kegagapan pemerintah untuk mengatasi virus, masyarakat terkena panic buying hingga wacana lockdown untuk memutus mata rantai penularan.
Namun saya menonton di waktu yang salah. Sebab realitas buatan yang ada dalam film Contagion telah mempengaruhi alam bawah sadar saya, lambat laun saya percaya bahwa situasi di film bakal terjadi juga di kehidupan nyata. Terlebih situasi saat ini tak baik-baik saja dan tak ada kepastian. Alhasil bukan merasa terhibur dan terjaga, saya malah menjadi cemas berlebih.
Jadi saya pikir ada baiknya bagi kamu yang tengah di rumah saja dan berencana menonton film guna mengusir kebosanan, saya sarankan untuk tidak menonton film yang berakhir sad ending atau mengandung kepedihan atau bencana di dalamnya. Sebab di kondisi sekarang mungkin saja mental kamu sedang rapuh.
Stres, bingung, cemas, sedih, dan panik adalah reaksi yang wajar ketika terjadi krisis seperti sekarang. Apalagi di tengah situasi krisis seperti sekarang di mana ketidakpastian yang meluas dan ancaman terasa sangat dekat serta kurangnya strategi yang jelas untuk mengontrol situasi merupakan kombinasi yang sangat menantang bagi sebagian orang dan menjadi sebuah teror menakutkan bagi saya dan mereka yang memiliki trauma.
Namun datangnya kecemasan berlebih di tengah krisis seperti ini harap disikapi dengan tenang. Meski merasa cemas berlebih, jangan pernah menganggap kamu punya mental ilness. Sebab yang memfatwa kamu pengidap mental ilness bukanlah kamu atau teman-temanmu, tetapi dokter yang telah memeriksa dengan segala prosedur yang berlaku.
Profesor psikiatri di Weill-Cornel Scholl of Medicine New York-Presbyterian Hospital, Gail Saltz, M.D mengatakan saat ini ada banyak hal yang menimbulkan kecemasan. Ini adalah evolusi, normal dan sehat untuk memiliki kecemasan dalam reaksi terhadap sesuatu, dengan tingkat kepedulian yang sesuai.
Lanjut Salt, seseorang dapat dengan mudah meningkatkan kekhawatiran mereka ke tingkat kecemasan. Oleh karena itu menjadi cemas itu wajar karena artinya kita masih memiliki kepekaan terhadap situasi di sekitarnya.
Di tengah pandemi covid-19 ada yang tak kalah bahaya daripada wabah tersebut yakni menurunnya mental kamu. Sebab kalau mentalmu lemah, kamu malah memiliki resiko besar terserang virus tersebut.