Dalam budaya Sunda dikenal sebuah ungkapan, “meunang ngabogaan lawan, tapi teu meunang ngabogaan musuh” (boleh memiliki lawan, tetapi tidak boleh memiliki musuh). Ungkapan tersebut jadi salah satu filosofi atau nilai yang diajarkan kesenian Benjang Gulat.
Benjang Gulat merupakan seni beladiri yang berasal dari daerah tatar Sunda, lebih tepatnya di Ujungberung, Kota Bandung. Kabarnya Benjang Gulat tumbuh dan berkembang sejak masa kolonial. Semula Benjang Gulat berkembang di kalangan santri pesantren dan menjadi sebuah permainan. Namun kemudian ada larangan dari pemerintah Hindia Belanda lantaran khawatir terciptanya kantong-kantong kekuatan untuk memberontak.
Pasca kemerdekaan tepatnya masa Orde Baru, Benjang Gulat pun sempat dilarang karena dianggap sumber tawuran di Ujungberung pada 1970-an. Benjang Gulat kemudian dapat kembali ‘merdeka’ pasca runtuhnya Orde Baru.
Kiwari Benjang Gulat pun bisa disaksikan dan dimainkan tanpa ada rasa khawatir. Kendati begitu seni bela diri ini tak lantas menjadi populer di luar wilayah Ujungberung. Sepengatahuan penulis Benjang Gulat telah terdokumentasi dalam beberapa medium seperti artikel berita, jurnal akademik, video dokumenter dan film.
Salah satu dan mungkin satu-satunya film tersebut adalah Gulat Benjang Pamungkas. Sebuah film yang diprakarsai dan diongkosi oleh pemerintah.
Baca Juga: Guru Dian: Culture Shock dan Berdamai dengan Diri Sendiri
Film Gulat Benjang Pamungkas bercerita tentang anak bernama Fajar yang pindah ke desa di Cilengkrang, Ujungberung, kota Bandung karena ayahnya dipindah tugaskan di kelurahan setempat.
Sebagai anak baru, Fajar memiliki kewajiban untuk mengenal dan beradaptasi dengan lingkungannya. Namun adaptasi itu tak berjalan mulus, ada tokoh yang tidak menyukai kehadiran Fajar. Tokoh antagonis itu pun dikenal sebagai anak yang jago Benjang Gulat.
Dari sini konflik dimulai dan tentu menyaksikan sekilas, penulis sudah bisa menebak bagaimana jalannya konflik dan solusinya. Akan tetapi penulis harus memberikan kredit, pasalnya Fajar tidak dibuat menjadi tokoh yang Zero to Hero, mempelajari Benjang Gulat dalam waktu relatif singkat serta mengalahkan lawan-lawannya yang telah lama jadi jawara dan berlatih Benjang Gulat.
Sebagai film yang mengusung tema bela diri, entah kenapa penulis merasa ada yang kurang. Mungkin karena di film ini tidak menampilkan sejumlah perguruan atau padepokan Benjang Gulat. Sehingga suasana kampung yang sangat mencintai dan mengangungkan Benjang Gulat terasa luntur.
Namun saya patut apresiasi bahwa film ini tetap berada pada jalurnya, yakni menyampaikan pesan sesuai dengan filosofi Benjang Gulat, “meunang ngabogaan lawan, tapi teu meunang ngabogaan musuh” (boleh memiliki lawan, tetapi tidak boleh memiliki musuh).
Di sisi lain, kehidupan warga desa seperti mencari pakan ternak, menjadi hal yang menarik untuk disaksikan. Sebagai orang yang pernah dekat dengan kehidupan desa, menyaksikan film ini sedikit banyak membangkitkan memori akan kampung halaman. Terlebih penulis memiliki keterikatan darah dengan tanah Sunda.
Baca Juga: Kisah Nyai di Hindia Belanda
Selain ihwal alur cerita, penulis pun menyoroti pemilihan latar musik dari film ini. Ada kesan ‘pelit’ dalam menyajikan iringan musiknya. Musik yang ditampikan terasa standar karena memakai musik-musik yang banyak ditemukan di internet di era sekarang.
Andai mengeksplorasi musik-musik yang ditampilkan nayaga atau pemain musik di jelang akhir film, penulis pikir akan lebih eksklusif dan feel lokalitas Sundanya lebih menyentuh.
Kendati begitu penulis harus apresiasi lebih terhadap film-film yang mengangkat tema di luar arus utama. Pasalnya menjadi oase akan yang dapat mengobati kejenuhan dari film-film cinta dan lainnya.