Kota Bandung, dengan segala gemuruh modernitasnya, berdiri sebagai salah satu kota yang selalu punya kisah untuk diceritakan.
Ada romansa di antara gedung-gedung tua dan aliran udara segar yang masih tersisa di sebagian kecil sudut kotanya. Namun, di balik keindahan itu, ada masalah mendasar yang mengusik keseharian penghuninya: ketiadaan transportasi yang layak.
Kita bisa memulai cerita ini dari pagi hari. Pada waktu itu, Bandung terbangun dari tidur, tapi jalan-jalan utamanya sudah dipenuhi dengan desahan mesin kendaraan yang tak kunjung reda. Para pekerja, mahasiswa, dan pedagang semua berlomba-lomba untuk menembus kemacetan yang terasa abadi. Seolah-olah Bandung sedang dalam kondisi tetap: macet.
Kemacetan di Bandung bukan sekadar persoalan transportasi; ini adalah potret dari ketidakadilan, kemiskinan kebijakan, dan keterasingan antara rencana pembangunan kota dengan realitas kehidupan penghuninya.
Bandung: Kota yang Kebanyakan Ngetem
Jika kamu berjalan di Bandung, melewati trotoar yang seharusnya menjadi ruang pejalan kaki, kamu akan menemukan kendaraan bermotor terparkir sembarangan, seolah-olah trotoar adalah bagian dari perluasan jalan.
Trotoar yang seharusnya menjadi jalur aman bagi mereka yang memilih berjalan kaki kini seakan menjadi ranjau bagi para pejalan kaki.
Lalu kita berbicara tentang angkot, kendaraan yang menjadi denyut nadi transportasi publik Bandung. Meski menyentuh hampir setiap sudut kota, angkot sering kali justru menjadi sumber ketidaknyamanan.
Sopir angkot yang bersaing mendapatkan penumpang, berhenti sembarangan, dan memenuhi jalan sempit kota ini seolah melambangkan ketiadaan alternatif yang layak.
Transportasi umum yang ideal seharusnya tidak membuat penggunanya merasa seperti sedang berjudi dengan waktu. Dalam angkot Bandung, ada kesepakatan diam-diam bahwa keterlambatan sudah dianggap sebagai bagian dari keseharian. Tidak ada ruang untuk protes, tidak ada ruang untuk keluhan.
Ketergantungan pada kendaraan pribadi di Bandung bukan hanya pilihan, tetapi kebutuhan yang tak terelakkan bagi banyak penduduknya. Dalam kota yang hanya memiliki sedikit moda transportasi massal yang andal, sepeda motor dan mobil menjadi solusi instan bagi mereka yang ingin bergerak dengan sedikit lebih bebas.
Namun, kebebasan ini adalah kebebasan yang semu. Ironisnya, semakin banyak orang yang memilih menggunakan kendaraan pribadi, semakin macetlah jalanan Bandung. Rasanya seperti paradoks yang tak terhindarkan: semua orang mencoba keluar dari kemacetan dengan cara yang justru memperburuk kemacetan itu sendiri.
Transportasi publik di Bandung masih berada dalam tahap yang jauh dari ideal. Angkot, yang menjadi moda utama transportasi umum, sering kali dianggap tidak efisien, tidak nyaman, dan tidak aman. Hal ini membuat banyak warga memilih untuk membeli kendaraan pribadi, meskipun harus berhadapan dengan harga bahan bakar, pajak, dan perawatan yang semakin mahal.
Dalam labirin ini, kendaraan pribadi seakan menjadi tiket menuju kebebasan, tetapi hanya untuk menuntun ke jalan buntu yang sama—terjebak di antara kendaraan lain dalam kemacetan yang tak berkesudahan.
Ketagihan Jalan Layang dan Rencana Tolol Tol dalam Kota
Proyek kereta api cepat sering dibangga-banggakan, tapi bagi kebanyakan warga Bandung, yang mereka butuhkan adalah transportasi yang mampu membawa mereka dari satu sudut kota ke sudut lainnya tanpa harus berkorban terlalu banyak waktu dan energi.
Seperti yang sering kali terjadi di kota-kota besar, solusi transportasi Bandung selalu berputar di lingkaran gagasan yang megah, tetapi nyaris tak pernah diterapkan secara sempurna.
Pemerintah kota Bandung, dalam upaya menyelesaikan masalah transportasi, sering kali memilih solusi jangka pendek seperti membangun flyover atau jalan layang. Namun, jalan layang yang serampangan ini tidak memberikan dampak signifikan terhadap kelancaran arus lalu lintas.
Seolah menjadi tambal sulam yang asal jadi, flyover yang dibangun justru hanya memindahkan masalah kemacetan dari satu titik ke titik lain tanpa mengatasi akar masalahnya.
Di beberapa tempat, flyover tersebut malah menjadi sumber kemacetan baru karena penyempitan jalan di bagian bawahnya dan ketidakmampuan infrastruktur di sekitarnya untuk menampung peningkatan volume kendaraan.
Jalan layang yang seharusnya menjadi solusi justru menambah kesan bahwa Bandung adalah kota yang berlari tanpa arah. Setiap pembangunan jalan baru seolah hanya merespons masalah permukaan, tanpa memikirkan dampaknya terhadap mobilitas jangka panjang.
Pembangunan yang serampangan ini mencerminkan kurangnya visi dan perencanaan transportasi terintegrasi yang betul-betul memperhitungkan kebutuhan warga kota. Dalam labirin transportasi Bandung, jalan layang hanyalah jalur lain yang kembali ke masalah yang sama.
Sebagai solusi yang lebih ambisius, rencana pembangunan jalan tol dalam kota digadang-gadang akan menyelesaikan masalah lalu lintas yang menghantui Bandung selama bertahun-tahun. Namun, rencana ini justru menimbulkan banyak pertanyaan, terutama apakah jalan tol dalam kota benar-benar akan menjadi jawaban atas masalah transportasi publik.
Alih-alih mengurangi volume kendaraan, tol dalam kota cenderung menarik lebih banyak kendaraan pribadi ke jalanan. Dengan kata lain, jalan tol dalam kota hanya akan memberikan akses lebih mudah kepada mereka yang memiliki kendaraan pribadi, sementara mayoritas warga Bandung masih harus bergulat dengan transportasi publik yang jauh dari memadai.
Tol dalam kota mungkin akan memberikan ruang lebih bagi mobil-mobil mewah untuk melesat di atas kota, namun bagaimana dengan warga yang harus tetap berdesakan dalam angkot, terjebak di bawah jembatan tol yang megah namun jauh dari realitas hidup mereka?
Alih-alih menjadi solusi, tol dalam kota hanya mempertegas ketidakadilan dalam akses transportasi, di mana yang diuntungkan adalah segelintir orang yang memiliki kendaraan pribadi, sementara warga yang bergantung pada transportasi umum tetap berada dalam ketidakpastian.
Rencana pembangunan jalan tol dalam kota juga mengabaikan solusi yang lebih berkelanjutan, seperti pengembangan transportasi massal yang terintegrasi dan ramah lingkungan.
Kota-kota besar di dunia telah membuktikan bahwa transportasi massal yang efektif adalah solusi jangka panjang yang dapat mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, mengurangi polusi udara, dan meningkatkan kualitas hidup warga kota. Namun, Bandung sepertinya masih memilih untuk mengikuti jalan yang salah, membangun infrastruktur yang hanya akan memecah belah kota, bukan mempersatukannya.
Refleksi Akhir: Jalan Keluar yang Hilang
Bandung, kota yang diharapkan menjadi pusat inovasi dan kreativitas, justru tersandung dalam labirin transportasi yang tak berujung. Solusi transportasi yang dipikirkan saat ini seperti tambal sulam pada luka yang terus menganga, tidak pernah menyelesaikan masalah dari akarnya.
Bandung tak butuh jalan baru; yang dibutuhkan adalah cara berpikir baru. Kota ini harus mulai memprioritaskan transportasi publik yang layak dan terintegrasi, bukan sekadar proyek-proyek infrastruktur yang megah tapi kosong.
Warga Bandung butuh kebebasan untuk bergerak, dan kebebasan itu hanya akan datang jika kota ini berani mencari jalan keluar dari labirin yang diciptakannya sendiri.
Bandung memang dikenal dengan keramahannya, tetapi di jalanan yang padat itu, kamu akan menemukan wajah-wajah yang lelah, bukan karena pekerjaan mereka, tetapi karena perjalanan yang seharusnya tidak perlu memakan begitu banyak waktu dan tenaga.
Mereka adalah para pejuang lalu lintas, berperang setiap hari dalam medan yang sama, dengan hasil yang sudah dapat diprediksi: terlambat, marah, dan akhirnya pasrah.
Ketiadaan transportasi layak di Bandung bukanlah sekadar isu teknis tentang kurangnya bus atau jalan raya. Ini adalah refleksi dari sebuah kota yang gagal membangun infrastruktur berdasarkan kebutuhan masyarakatnya.
Bagaimana bisa sebuah kota yang sedemikian padat penduduk tidak menyediakan moda transportasi massal yang efisien, murah, dan layak?
Dalam perasaan frustrasi di jalanan, dalam desah napas panjang ketika angkot yang ditunggu tak kunjung datang, ada semacam solidaritas yang tak kasat mata di antara para penghuni kota ini.
Bandung, yang dikenal sebagai Paris van Java, kini menjadi medan tempur yang sunyi, tempat orang-orang belajar menahan diri, belajar untuk terus bertahan.
Namun sampai kapan mereka akan terus bertahan? Kota ini tak selamanya bisa mengandalkan keramahan cuaca dan keramahan warganya sebagai solusi terhadap ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh buruknya transportasi publik.
Bandung, kota yang penuh janji, sudah terlalu lama melupakan janji-janji yang diberikan pada penghuninya. Jika terus dibiarkan, mungkin yang tersisa dari Bandung hanyalah kenangan tentang jalan-jalan sempit yang tak pernah bisa dilewati dengan tenang.
Dalam setiap langkah kaki di trotoar yang sempit, dalam setiap detik di lampu merah yang tak kunjung berubah, kita semua menjadi saksi dari elegi kota yang kehilangan kemampuannya untuk bergerak. Bandung, kota yang seharusnya bisa membawa warganya ke mana-mana, justru semakin membuat mereka terjebak.