Pria Berkacamata Tebal


Siang itu pria berkacamata tebal memacu motornya di Jalan Suci. Motornya ia bawa dengan laju cukup kencang. Salip kanan salip kiri. Sesekali ia menengok jam di tangan kirinya. Jamnya sudah menunjukan waktu pukul satu. Ia sudah telat. Seharusnya pukul satu ia sudah berada di kampus yang berada di Jalan Ganesha itu. Menghadiri undangan diskusi. Apadaya ia tersangkut dengan urusan perut yang tak bisa ditinggalkan begitu saja. 
Terpaksa ia harus menambah kecepatan laju motornya, guna tak terlalu terlambat. Ditariklah tuas gas di tangan kanannya, belum juga tuas itu ditarik habis, ia sudah terpaksa menginjak rem. Ia sedikit mengumpat. “Anjing, karek ge rek di gas full rem saeutik, geus panggih deui wae jeung macet.”
Siang itu persis di depan lapangan Gasibu terjadi kepadatan arus lalu lintas yang cukup mengular. Entah karena apa. Polisi pun tak berada disana atau memang polisi tak pernah berjaga disana. Hampir sekitar 15 menit ia bergelut dengan kemacetan. Debu-debu jalanan yang bercampur pecahan ban, tahi kucing, bangkai tikus kian menempel di wajahnya yang berkeringat. Wajah berseri mirip Donny Damara bintang film era 90-an tak nampak lagi dari wajahnya. 
Di tengah banyaknya kendaraan yang padat merayap, Ia banyak melafalkan kata-kata penyejuk hati: anjing, bagong, jancu dan masih banyak lagi. Sembari itu juga ia melakukan manuver berkelas: salip kanan, salip kiri. “Sial memang hidup dizaman now, macet dimana-mana, mau di dunia nyata atau dunia maya sama saja bisa terjadi kemacetan.” 
Sepeda motornya menyalip beberapa kendaraan di depannya. Hingga akhirnya ia dapat menemui penyebab kemacetan, yakni sebuah mobil sedan merah yang mogok di tengah-tengah tanjakan Jalan Layang Pasupati. Mobil sedan yang dikendarai oleh sepasang suami istri. Pasangan suami istri yang belum lama ini melangsungkan pernikahan. Terlihat dari rangkaian bunga di bagian depan kap mesin yang masih belum dilepas.  
Sebagai mahasiswa teknik mesin tentu ia sangat gatal ingin bertanya kepada pasangan suami istri tersebut penyebab mobilnya bisa mogok, lalu segera memperbaikinya. Namun ia mengurungkan niat mulianya, sebab ia kini sudah semakin terlambat untuk menghadiri diskusi di kampus ITB. Hingga ia hanya bisa berdoa dalam sanubari: semoga saja dengan ijin Tuhan mobil tersebut kembali nyala. Tentu nyala bukan karena dilalap api tapi cukup mesinnya saja yang nyala. 
Dengan berat hati layaknya prajurit meninggalkan medan perang, ia menarik tuas gas sepeda motornya. Disisirnya jalanan di bawah Jalan Layang Pasupati. Setiba di lampu merah Jalan Taman Sari, ia disambut oleh musisi jalanan: pemuda yang memainkan biola. Belum dua kali reff, pemuda itu sudah menyodorkan topi ke arahnya, lantas ia dengan kalemnya membalas dengan senyum. Tentu ia lelaki yang memegang teguh mahzab “senyum itu ibadah”. Maka dari itu ia selalu mengedepankan senyum daripada uang.  
Gawai yang diletakan dalam celana jeansnya tak berhenti bergetar. Ia tahu mungkin getar tersebut dihasilkan dari puluhan notifikasi yang hinggap digawainya. Ia pun sudah bisa menebak apa isi dari notifikasi-notifikasi tersebut. Maka ia pun tak punya niatan untuk segera membuka gawainya, ia tarik kembali tuas gas sepeda motornya. 
Kali ini tak terdengar sedikitpun lantunan kata-kata penyejuk hati yang keluar dari mulutnya. Sebab setelah melewati kemacetan depan lapangan Gasibu. Jalannan aman sentosa. Maka tak perlu waktu lama ia sudah tiba di Jalan Ganesha. Di parkirkanlah sepeda motornya di depan Taman Kubus. Belum semenit memarkirkan motornya, tiba-tiba di belakang ia sudah berdiri lelaki berkumis dengan gestur menagih uang parkir. Kali ini ia tak memakai mahzabnya, sebab ia tahu senyum tersebut tak akan berhasil pada seorang juru parkir. 
Disodorkanlah uang pecahan dua ribu. “Nih mang.” Lantas ia langsung masuk ke area kampus menuju gedung pembangunan. Namun ia ingat, ia tidak tahu persis lokasi gedung tersebut berada. Akhirnya ia menanyakan pada satpam yang kebetulan sedang melintas di depannya. “Kang, bade tumaros, pami gedung pembangunan palih mananya?” 
“Oh, ini mah ada di deket gedung UPT Bahasa, akang dari sini tinggal lurus aja ikuti lorong, setelah melewati tangga masih lurus aja, setelah itu naik tangga lagi, lalu pas tidak ada tangga lagi akang belok kanan lalu belok kiri, nah sebelah kanan gedung tersebut berada.” Jawab Pak Satpam.
“Muhun, kang hatur nuhun.” Ia pun bergegas mengikuti arahan pak satpam.
Baru saja berjalan sekitar 100 meter ia menemukan jalan cagak, yang tak disebutkan oleh si satpam. Sontak jalan cagak tersebut membuat distraksi pada otaknya yang menyebabkan seketika saja ia lupa akan arahan pak satpam. Terpaksa dan sungguh terpaksa ia harus mencari orang dan bertanya lagi mengenai letak gedung tersebut. 

Baca Juga: Terima Kasih Tuanku

Kali ini seorang mahasiswi berwajah padang pasir menjadi incarannya. “Assalammuallaikum yah ukhti, maaf mengganggu sebentar, bolehkan saya bertanya? Apakah ukhti tahu lokasi gedung pembangunan ini dimana?” ia berkata. 
“Walaikumsalam, maaf mas saya tidak tahu saya bukan mahasiswi sini, saya lagi diajak temen saya kesini, untuk liat-liat kampus barunya, maaf yah mas.” Jawab gadis tersebut. 
“Oh baiklah maaf sudah mengganggu yah, silahkan melihat-lihat lagi.”
Ia tak menyerah. Kini sasarannya tertuju kepada gadis oriental.
“Mbak maaf ganggu waktunya sebentar, mbak tahu letak gedung pembangunan di sebelah mana?” Ia berkata. 
“Maaf saya tidak tahu mas, coba tanyakan ke bagian TU yang ada disana.” Jawab gadis oriental tersebut. Mungkin hari ini ia benar-benar sedang tak beruntung. 
Bukannya bertanya kepada petugas TU, pandangannya malah melimpir ke gadis berkulit langsat yang nampak ayu dari kejauhan. Berjalanlah ia menuju gadis tersebut. Belum sampai lima meter, ia mengurungkan niatnya. Perasaannya mengatakan Ia harus bertanya kepada petugas taman. Beruntunglah dekat dari gadis tersebut ada sebuah taman yang kebetulan juga terdapat sebuah lampu taman yang di bawah lampu tersebut ada petugas taman yang sedang jongkok dan mencabuti rumput liar di taman. 
“Permisi mas, ganggu sebentar, saya mau tanya lokasi gedung pembangunan di sebelah mana yah?” Oh itu mas di ujung sebelah sana, mas tinggal ikutin saja jalan ini deh.” 
“Baiklah mas terima kasih banyak yah.” 
Ia segera melihat jam di tangan kirinya, jamnya sudah menunjukan pukul dua. Ia kini sudah sangat terlambat untuk menghadiri diskusi. Saat itu juga gawainya masih terus bergetar. Namun ia tak menghiraukannya. 
Segeralah ia melangkah kaki menuju gedung tersebut. Sebab ia tak ingin lagi menghabiskan waktu sebab ia sudah sangat terlambat. Setibanya di depan gedung pembangunan ia cukup kaget, sebab gedung tersebut pintu depannya terkunci oleh gembok. Kata-kata penyejuk hati mulai keluar lagi. “Pasti ini ada yang tidak beres, jangan-jangan si Roni ngibulin urang.” Lantas ia membuka gawainya. Ia membuka surat elektronik di gawainya, kemudian membuka surat undangan diskusi tersebut, ia melihat dengan seksama. Tertera di undangan tersebut lokasi undangan Kampus ITB Jalan Raya Jatinangor. “Kampret saya salah baca, kayanya harus ganti kacamata yang lebih tebal.” (upi)
  
Share your love
Rulfhi Alimudin
Rulfhi Alimudin

Pekerja teks komersial dan penggambar rumah. Berminat sejarah, sastra, sepakbola dan properti.

Articles: 164

No comments yet

Leave a Reply