Ilustrasi hasil maling yang rakyat (korupsi)./Pixabay |
Istilah koruptor yang sering disematkan kepada pelaku tindak pidana korupsi akan mulai berkurang di kanal-kanal media nasional. Sejumlah media nasional seperti Kompas, Pikiran Rakyat secara resmi mulai menggunakan istilah maling, rampok, garong uang rakyat untuk mengganti padanan kata koruptor.
Hal Ini merupakan respon dan juga sentilan dari wacana yang sempat mencuat belakangan ini bahwa KPK akan menyebut koruptor dengan sebutan ‘Penyintas Korupsi’.
Wacana ajaib ini bermula dilontarkan oleh Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana. KPK dengan wacananya nampak mewadahi keluh kesah tersangka maling uang rakyat yang mengaku sebagai korban, khilaf dan merasa paling tersakiti.
Tak percaya lihat saja pengakuan tersangka korupsi bansos Covid-19 Juliari Batubara. Dia merasa paling menderita lantaran dibully oleh masyarakat yang jelas-jelas menderita dengan disunatnya bansos di saat pandemi Covid-19
Wacana istilah ‘Penyintas Korupsi’ tentunya melukai rakyat dan menghancurkan makna penyintas. Merujuk kepada KBBI, penyintas memiliki arti orang yang mampu bertahan hidup. Tanpa perlu ditanyakan pun kita yakin para penyintas seperti penyintas Covid-19, penyintas kanker dan penyintas lainya tentu tak mau disamakan dengan penyintas korupsi.
Dalam konteks korupsi, tentu pelaku korupsi bukanlah seorang korban yang berjuang menghadapi kesulitan tetapi sangat jelas labelnya yakni seorang pelaku kejahatan. Justru yang harus dikasihani adalah masyarakat luas yang dirugikan akibat korupsi, layak disebut penyintas dampak korupsi.
Ternyata, jauh sebelum penggantian istilah ‘Koruptor’ menjadi ‘Penyintas Korupsi’ oleh KPK. Sebenarnya penggunaan diksi koruptor sudah bermasalah lantaran dinlai kelewat halus oleh sejumlah pihak.
Salah satu sosok yang menilai sebutan koruptor terlalu halus, misalnya seorang ulama besar di Indonesia, yakni Prof. Quraish Shihab.
Prof. Quraish Shihab menilai sebutan yang pas untuk orang yang melakukan korupsi adalah pencuri. Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ketika orang miskin yang mengambil hak orang lain dinamakan pencuri, tetapi pejabat yang juga melakukan pencurian atau barang bukan haknya dinamai koruptor
“Koruptor harus lebih dipermalukan, karena mereka tidak punya malu,” kata Prof. Quraish Shihab.
Buktinya yang tertuduh atau tersangka pencuri uang rakyat bisa ketawa-ketawa. Rompi kuning bertuliskan tak cukup membuat mereka merasa malu.
Oleh karena itu, menurut Prof. Quraish Shihab mereka harus dipermalukan dan disadarkan bahwa tindak kejahatan yang dilakukan maling uang rakyat itu berdampak terhadap anak cucunya. Hal tersebut telah disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab sejak tiga tahun lalu.
Sementara itu, yakni empat tahun lalu ajakan kepada media untuk mengganti koruptor dengan sebutan maling sempat dicetuskan oleh Roy Thaniago dalam artikelnya yang tayang di Remotivi.
Ajakan ini merupakan rasa marah yang bermula terhadap kasus korupsi dengan tersangka Setya Novanto. Saat itu banyak media yang tak memposisikan diri untuk memberikan warta bahwa korupsi merupakan tindakan kejahatan yang luar biasa terhadap kemanusiaan.
Selain itu, pemberitaan media saat itu pun tidak membangun solidaritas dan pengorganisasi warga dalam menuntut penegakan hukum yang serius, terutama dalam kasus korupsi.
Menurutnya, penting bagi media untuk menunjukan sikap dan keberpihakannya dalam melawan korupsi, salah satunya dengan penggunaan istilah “maling”.
Dia menjelaskan bahwa istilah “maling” memiliki konotasi yang lebih buruk dan rendah, sekaligus berada lebih dekat secara kultural dengan masyarakat. Lanjutnya, memanggil koruptor sebagai maling akan mengembalikan mereka pada esensi korupsi: mengambil barang orang secara sembunyi-sembunyi.
Serempaknya media untuk mengganti koruptor menjadi maling menunjukan secercah harapan bahwa masih ada pihak-pihak yang bersinergi dan menyuarakan hati rakyat.
Hal ini pun menandakan bahwa media masih menjadi sentral dalam kehidupan demokrasi modern yang berpihak kepada rakyat. Penyebutan istilah maling untuk pelaku korupsi pun layaknya sebuah oase ditengah penegakkan korupsi yang terasa kian melemah dan bertanduk.
Lihat saja diberendelnya para pegawai KPK yang giat menangkap pelaku korupsi seperti penyidik senior Novel Baswedan. Lalu vonis ringan yang diterima Juliari Batubara hingga sedekah remisi yang diterima Djoko Candra. Belum terhitung soal kode etik yang dilanggar para petinggi KPK saat ini.
Hal-hal tersebut jelas-jelas melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan tindak kejahatan korupsi. Namun sekali lagi, penyebutan maling uang rakyat bagi para pelaku korupsi perlu kita rayakan sebagai tonggak berdirinya keadilan di negeri ini.
Bahwa memang benar adanya Indonesia dikenal sebagai negara yang penduduknya ramah dan sopan, namun hal ini bukan menjadi alasan bahwa kita harus sopan dan memaklumi pelaku korupsi dengan tidak menyebutnya maling.
Mulai hari ini dan seterusnya mari kita biasakan menyebutkan pelaku kejahatan korupsi dengan istilah maling uang rakyat. Kalau perlu kita perbanyak mural bergambar pelaku korupsi dengan maling uang rakyat. Agar semua tahu korupsi adakah kejahatan kemanusiaan yang tak pantas lagi hidup di negeri ini.
Namun timbul pertanyaan selanjutnya, apakah mural tersebut bakal dihapus dan dianggap sebagai ujaran kebencian oleh pihak berwajib. Ups!!!