Harga susu KPBS Pangalengan yang ramah di kantong menjadi pengingat sederhana bahwa koperasi, selalu mengalir di antara celah-celah kehidupan yang mungkin kita anggap tak penting.
Selain Kosipa yang akrab di telinga saya berkat lagu Yayan Jatnika, KPBS adalah koperasi yang lebih melekat. Koperasi yang mungkin tak pernah dibicarakan di meja-meja pertemuan kelas menengah kota, tapi menjadi denyut nadi bagi peternak-peternak kecil di Selatan Bandung.
Koperasi masih dipandang sebelah mata dan sesuatu yang ketinggalan zaman. Hanya sebatas hapalan yang harus dibaca saat mata pelajaran Ekonomi di sekolah dulu. Padahal konsep yang terkesan kolot kadang bisa jadi jawaban untuk masalah nyata hari ini, bukan hanya sebagai jawaban saat ujian Ekonomi semata.
Harga susu yang ditawarkan KPBS bukan hanya persoalan angka—itu adalah hasil metamorfosis panjang. Di balik angka itu, ada kisah adaptasi, ada kisah pertumbuhan, ada kisah bertahan hidup.
Sejarah Pangalengan dan KPBS
Koperasi, seperti KPBS, tidak hanya bertahan di era yang semakin kapitalistik, tapi juga bertransformasi. Di tengah hiruk-pikuk pasar bebas, koperasi ini tetap relevan, menjadi jangkar bagi peternak kecil yang mungkin akan tersingkirkan jika bermain di luar ekosistem koperasi.
Didirikan sejak 1969 dan masih bertahan sampai sekarang.
Pada zaman kolonial Belanda, di Pangalengan terdapat beberapa peternakan diantaranya, De Friensche Terp, Almanak, Van Der Els, dan Big Man. Nama Pangalengan memang berarti pengalengan, merujuk pada proses di peternakan yang tersebar di Bandung selatan ini.
Pemasaran hasil produksinya dilakukan oleh Bandungche Melk Center (BMC). Gedungnya masih ada, berada di pusat kota dekat Gedung Pemkot Bandung.
Kemudian pada masa pendudukan Jepang semua perusahaan tersebut dihancurkan dan sapinya dipelihara oleh penduduk sekitar sebagai usaha keluarga.
Percepat setelah Indonesia jadi negara merdeka, pada bulan November 1949 petani membentuk koperasi dengan nama Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan (GAPPSIP).
Meski sayangnya pada 1960an, GAPPSIP tidak mampu menghadapi labilnya perekonomian Indonesia. Sehingga tata niaga persusuan sebagian besar diambil alih oleh tengkulak.
Usaha peternakan sapi perah merupakan usaha yang rentan karena susu merupakan produk yang cepat rusak.
Beberapa tahun kemudian yaitu pada tanggal 22 Maret 1969 didirikan koperasi yang diberi nama Koperasi Peternakan Bandung Selatan Pangalengan, disingkat KPBS Pangalengan.
Baru pada tanggal 1 April 1969 KPBS Pangalengan secara resmi telah berbadan hukum.
KPBS Menerjang Zaman
Di era ketika segala sesuatu diperlombakan untuk menjadi lebih cepat, lebih mahal, dan lebih elit, koperasi seringkali dipandang sebagai entitas yang kolot. Seperti mesin tua yang menggeram, terlalu berat untuk bergerak, terlalu lelah untuk menari dengan zaman yang terus berubah.
Namun, di balik stereotip itu, KPBS berdiri tegak, membuktikan bahwa koperasi bukanlah mesin tua, melainkan pohon yang akarnya kuat tertanam di bumi, tapi dahan-dahannya lentur mengikuti angin perubahan.
Jika kita memandang koperasi dengan kacamata hari ini, kita akan melihat sesuatu yang lebih besar dari sekadar “tempat simpan pinjam.” Koperasi bisa jadi jawaban atas masalah ekonomi yang semakin terpecah—di mana yang besar semakin besar, dan yang kecil semakin lenyap.
KPBS membuktikan bahwa koperasi adalah entitas yang tidak hanya bertahan, tapi juga beradaptasi dan berkembang, menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi. Di sini, koperasi tidak lagi terlihat sebagai entitas yang statis, tapi sebagai organisme hidup yang terus bernafas, tumbuh, dan mencari cara untuk bertahan di dunia yang terus berubah.
Melihat eksistensi KPBS tersebut, memantik pemikiran bahwa koperasi merupakan entitas yang mampu bermetamorfosis dan bersifat adaptif terhadap perkembangan zaman.
Saya akan mengambil contoh kasus KPBS di awal. Dalam perjalanannya, koperasi peternak di Pangalengan, Kabupaten Bandung, juga tak selamanya bergerak mulus.
Beberapa tahun ke belakang, kebocoran di lini produksi dan distribusi menyebabkan perkembangan koperasi tersendat. Hingga akhirnya, Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Barat menawarkan konsep Enterprise Resource Planning (ERP).
Sebuah sistem yang mengintegrasikan planning, programming, dan financing. Sistem ini terbukti mampu menekan kebocoran, mendorong efisiensi, dan meningkatkan kinerja koperasi. Digitalisasi KPBS menciptakan cara kerja yang efisien dan terbuka.
KPBS bukan sekadar pengingat akan harga susu yang murah. Itu adalah simbol dari potensi koperasi untuk berubah, tumbuh, dan menjadi solusi nyata. Dalam koperasi, ada romantisme yang nyata—romantisme yang datang dari ketahanan, dari keberlanjutan, dari kemampuan untuk mengakar dan bertumbuh di tengah dunia yang kian asing.