Bagi generasi milenial, koperasi masih dipandang sebelah mata dan sesuatu yang ketinggalan zaman. Hanya sebatas hapalan yang harus dibaca saat mata pelajaran Ekonomi di sekolah dulu. Padahal konsep yang terkesan kolot kadang bisa jadi jawaban untuk masalah nyata hari ini, bukan hanya sebagai jawaban saat ujian Ekonomi semata.
Sebagai bagian dari generasi milenial, satu-satunya koperasi yang akrab dengan saya cuma KPBS (Koperasi Peternakan Bandung Selatan), berkat harga susunya yang ramah di kantong.
Didirikan sejak 1969 dan masih bertahan sampai sekarang, sehingga milenial macam saya masih kecipratan manfaatnya dari harga yang terjangkau tadi.
Pada zaman penjajahan Belanda, di Pangalengan terdapat beberapa peternakan diantaranya, De Friensche Terp, Almanak, Van Der Els, dan Big Man. Pemasaran hasil produksinya dilakukan oleh Bandungche Melk Center (BMC).
Pada masa pendudukan Jepang semua perusahaan tersebut dihancurkan dan sapinya dipelihara oleh penduduk sekitar sebagai usaha keluarga. Para bulan November 1949 petani membentuk koperasi dengan nama Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan (GAPPSIP).
Pada tahun 1960an, GAPPSIP tidak mampu menghadapi labilnya perekonomian Indonesia, sehingga tataniaga persusuan sebagian besar diambil alih oleh kolektor (tengkulak). Usaha peternakan sapi perah merupakan usaha yang rentan karena susu merupakan produk yang cepat rusak.
Beberapa tahun kemudian yaitu pada tanggal 22 Maret 1969 didirikan koperasi yang diberi nama KOPERASI PETERNAKAN BANDUNG SELATAN Pangalengan, disingkat KPBS Pangalengan. Pada tanggal 1 April 1969 KPBS Pangalengan secara resmi telah berbadan hukum.
Melihat eksistensi KPBS tersebut, memantik pemikiran bahwa koperasi merupakan entitas yang mampu bermetamorfosis dan bersifat adaptif terhadap perkembangan zaman.
Saya akan mengambil contoh kasus KPBS di awal. Dalam perjalanannya, koperasi peternak di Pangalengan, Kabupaten Bandung, juga tak selamanya bergerak mulus.
Beberapa tahun ke belakang, kebocoran di lini produksi dan distribusi menyebabkan perkembangan koperasi tersendat. Hingga akhirnya, Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Barat menawarkan konsep Enterprise Resource Planning (ERP).
Sebuah sistem yang mengintegrasikan planning, programming, dan financing. Sistem ini terbukti mampu menekan kebocoran, mendorong efisiensi, dan meningkatkan kinerja koperasi. Digitalisasi KPBS menciptakan cara kerja yang efisien dan terbuka.