Bagi kebanyakan urang Bandung, moda transportasi paling simpel menuju Sukabumi adalah bus atau travel. Sekali duduk, tidur, kemudian sampai. Namun, di sisi lain, masih ada, dan akan tetap ada, manusia-manusia yang memilih naik kereta-angkot-kereta.
Turun unggah kereta-angkot-kereta inilah yang saya lakukan pada Senin (16/9/2024) lalu. Perjalanan bermula dengan menumpangi Kereta Bandung Raya dari Stasiun Cimindi dan berhenti di Stasiun Padalarang. Sementara Arif, kawan dalam perjalanan kali ini, memilih berangkat naik Supra dari rumahnya di kawasan Bandung Selatan, kemudian memarkirkan motornya di stasiun ini.
“Geus lila teu motoran isuk-isuk,” begitu kelakarnya ketika kami bertemu di Padalarang.
Dari Bandung, Memetakan Jalan ke Sukabumi
Pukul 7 pagi, Stasiun Padalarang menunjukkan wajah sehari-harinya. Orang-orang bergegas menuju kota dengan muka yang masih berselimut semangat. Sesekali langkah mereka seperti diburu, sementara di ujung peron petugas tanpa lelah melempar sabda. Mengingatkan penumpang sekaligus mengumumkan nama-nama kereta yang akan melewati stasiun.
Tak berangsur lama, kami bergegas menuju angkot berwarna kuning jurusan Padalarang-Rajamandala yang jaraknya hanya sepelemparan batu.
“Hayu Cipatat, A. Cipatat, langsung. Sok, A, sok!”
Tanpa tedeng aling-aling saya dan Arif bergegas naik dan memilih tempat duduk. Saya di sisi 7, Arif di deretan 5. Tujuan kami adalah Sukabumi dan sopir angkot tersebut sepertinya sudah tahu betul gelagat orang-orang dari arah timur yang hendak menuju Stasiun Cipatat, lalu dibawa Siliwangi menuju entah.
Sebelum sopir menggerakkan persneling ke angka 1, saya sempat bergumam dalam hati. “Ya Tuhan, kapan terakhir kali saya naik angkot?”
Proses perpindahan moda transportasi yang berbelit dari satu kereta (KRD), dilanjut angkot, dan nantinya kembali naik kereta di Stasiun Cipatat untuk kemudian sampai di Sukabumi tak akan saya alami seandainya jalur KA Sukabumi-Cianjur-Bandung yang dibangun pada periode 1883—1884 masih dapat digunakan hingga kini.
Sekilas, kata “seandainya” yang saya lontarkan terkesan naif. Namun, jika melihat medan yang curam ditambah infrastruktur yang kureng, kesulitan untuk mengaktifkan kembali jalur Cipatat-Padalarang menjadi wajar belaka.
Tengok saja, misalnya, wilayah Cianjur-Bandung yang terdapat petak jalan di antara Stasiun Tagog Apu-Cipatat. Area ini mempunyai kelandaian ekstrem sekira 40 mil, ditambah adanya lintas Padalarang-Cianjur yang dianggap memiliki titik-titik rawan pergerakan tanah.
Hal ini sempat pula dikemukakan oleh Kepala Humas PT KAI Daerah Operasional (Daop) II Bandung kala itu, Bambang Setiyo Prayitno kepada Tribunnews.com medio 2013.
“Alasan pertama karena tidak adanya lokomotif yang cocok pada rute itu. Lokomotif yang cocok pada jalur itu adalah tipe BB. Lokomotif tipe BB mempunyai tekanan gandar 12 ton lebih ringan daripada CC dengan tekanan gandar lebih berat, yaitu 14—15 ton, yang kini diandalkan PT KAI pada rute-rute yang masih beroperasi seperti KA Argo Parahyangan, Argo Wilis dan lainnya,” ucap Bambang.
Ini pula yang menyebabkan timbulnya wacana teranyar perihal pengaktifan jalur Cipatat-Padalarang, tetapi dengan membuat jalur alternatif baru, yakni dari Stasiun Cipatat ke arah Stasiun Sasaksaat.
Entah kenapa, di tengah wara-wiri reaktivasi jalur ini, sebagai salah satu manusia Jawa Barat yang kerap dicekoki janji-janji palsu perihal transportasi umum, rasa pesimistis masih bertengger di puncak klasemen.
Sepanjang Jalur Cipatat ke Sukabumi, Bentangan Mooi Indie
Jalur Kereta Api Cipatat-Cianjur-Sukabumi yang saya lewati termasuk jalur tua dengan pemandangan yang memesona. Perjalanan semakin melankolis karena Kereta Api Siliwangi, satu-satunya kereta yang melintas di jalur ini, hanya diperkenankan melaju dengan kecepatan maksimal 50 kilometer per jam.
Bahkan, di salah satu kawasan bernama Spot Taspat KM 77, kereta cuma dibolehkan bergerak 5 sampai 10 km per jam karena kontur tanah menanjak dan medan berkelok menyerupai huruf S. Ngabret dikit, bahaya mengintai!
Telisik punya telisik, dari informasi lewat unggahan video Youtube Fauzi Akbar yang di-upload 4 September 2021, rel di kawasan Taspat KM 77 merupakan warisan zaman kolonial.
“Teman-teman, rel kereta apinya bertuliskan MT 1926 SS. Berarti ini rel sudah ada sejak 1926,” kata Fauzi sambil memperlihatkan rel dan deretan angka serta aksara.
Meninggalkan area Taspat, kereta mendekat ke terowongan tertua di Indonesia: Lampegan. Ketika gerbong pertama memasuki terowongan, saya merasakan aura ngeri-ngeri sedap. Meskipun hanya memiliki panjang 686 meter, suasana gelap terasa lebih lama dari perkiraan.
Beruntung setelahnya kembali tumbuhan hijau mendominasi. Sawah tidak sebanyak sebelumnya, memang. Tapi masih ada pohon pisang di kanan kiri dilengkapi jalan setapak yang hanya cukup dilalui satu motor. Entah kenapa, potret itu terasa amboi.
Lantas, sesaat sebelum sampai di tujuan, sepanjang pengamatan, saya menyaksikan bahwa rerata stasiun di jalur Cipatat-Sukabumi merupakan stasiun kelas 3 dengan bangunan yang sederhana. Bayangan langsung dibawa untuk membandingkan dengan stasiun-stasiun di jalur Padalarang-Cicalengka yang perubahannya sangat signifikan.
Dalam lamunan itu, suara dari pengeras di dalam kereta menghardik tiba-tiba, memberitahu bahwa telah dibawanya kami ke Sukabumi. Sambil turun dari kereta dan berhasil keluar dari kerumunan orang-orang, sopir angkot melambai-lambai. Bisa saja saya dan Arif melompat naik angkot agar waktu yang ditempuh ke tujuan lebih cepat. Tapi kali ini kami memilih jalan kaki dengan alasan biar bisa menikmati suasana kota.
Pada momen ini, saya mengamini apa yang dibilang mamang Kopo, bahwa hidup berlangsung bukan dari waktu ke waktu, tapi dari suasana ke suasana.