![]() |
Ilustrasi gambar | Kate Trifo on Unsplah |
Pandemi Corona telah membuat jalanan Jakarta lebih sepi ketimbang hati dan udara lebih bebas polusi daripada hari-hari yang lalu. Hal yang sebenarnya jarang terjadi kecuali hari lebaran. Semua itu imbas dari himbauan physical distancing, bekerja di rumah dan kebijakan teranyar tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Kendati begitu, masih saja ada jalanan yang ramai. Pasalnya sebagian masyarakat masih ada yang diharuskan bekerja lantaran bukan tak takut corona, tetapi lebih takut kalau dapur tak ngebul dan dompet kian sepi. Sehingga mereka pun terpaksa menanggung resiko. Bantuan yang dijanjikan pemerintah pun nampak dibuat ribet ala birokrasi khas Indonesia.
Namun selalu ada cara Indonesia lain yang hadir. Sebagian warga yang tergugah dan miliki tabungan lebih, ramai-ramai membuat kegiatan amal, entah itu pembagian sembako dan sebagainya. Ketika pemerintah lambat bergerak, warga bisa ambil tindakan. Sebagaimana kata pemikir asal Slovenia, Slavoj Zizek, “dalam situasi krisis, kita semua adalah Sosialis.”
Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Depok dan Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi menyusul Jakarta sebagai wilayah yang menerapkan PSBB guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Kelima wilayah itu mulai PSBB sejak Rabu 15 April 2020 sampai 14 hari ke depan dengan potensi diperpanjang jika virus masih menyebar.
Penetapan kebijakan PSBB haruslah seizin pemerintah pusat. Sehingga para kepala daerah hanya bisa membuat usulan dan menunggu konfirmasi dari pusat. Wilayah Bandung Raya pun sudah disetujui untuk PSBB mulai tanggal 22 April 2019.
Penerapan PSBB tentu sangat berbeda dengan istilah lockdown. Tak ada penutupan akses di pintu masuk/keluar di batas-batas daerah. Namun ada pemeriksaan, di mana setiap pengendara sepeda motor diwajibkan untuk memakai masker, sarung tangan serta pengecekan suhu. Kendaraan hanya boleh mengangkut 50% dari kapasitas penumpang.
Untuk ojek online hanya boleh mengantar barang dan makanan. Akan tetapi kabar lain menyebutkan bahwa mereka boleh membawa penumpang asal memenuhi SOP kesehatan, yakni memakai masker, sarung tangan dan penyemprotan desinfektan terhadap kendaraannya. Sementara transportasi pengangkut barang beroperasi seperti biasa.
Tentu dengan kebijakan ini masyarakat kecil menjadi kaum yang paling ringkih. Namun percayalah masih ada orang baik di sekitar kita, mungkin orang baik itu kamu? Iya kamu yang tak jadi pejabat, anggota DPP atau pun stafsus.
Membayang situasi sekarang di mana akses serba terbatas. Pikiran saya memasuki lorong waktu Pak Haji dan Zidan bertandang ke tanah ibu pertiwi beratus tahun silam.
Dulu ketika negara Indonesia masih bernama Hindia Belanda, penguasa saat itu yang bernama Belanda menerapkan kebijakan wijkenstelsel, yakni pengaturan pemukiman berdasarkan kelompok etnis. Tujuannya agar mempermudah pengendalian warga jajahan yang terpisah-pisah. Akibat kebijakan ini, akhirnya kiwari kita dapat menemukan kampung arab, pecinan dan sebagainya.
Dalam satu wilayah (wijk) terdapat penanggung jawab ketertiba yang diangkat dari tokoh masyarakat dengan pangkat kehormatan militer: luitenant, mayor, kapitein. Boleh dikatakan serupa Pak RW yang mengatur segala administrasi satu wilayah kecil. Setiap penghuni wijk yang melakukan perjalanan ke luar dengan perjalanan melebihi limit waktu diharuskan membawa surat keterangan: passenstlesel. Kartu yang berfungsi layaknya paspor yang sekarang kita kenal.
Wijkenstelsel merupakan warisan dari VOC yang diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tepatnya sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal VOC Valkenir. Pasca terjadinya tragedi kerusuhan 1740 yang bernama chineezenmoord. Pemberontakan yang dilakukan etnis Tionghoa dengan para bupati pesisir Mataram terhadap VOC.
Selain alasan politik, dua kebijakan Wijkenstelsel & passenstleseldigunakan sebagai monopoli ekonomi. Di era tanam paksa Priangan sempat tertutup rapat bagi semua etnis, termasuk Tionghoa. Alasannya karena Priangan saat itu tengah tumbuh menjadi daerah perkebunan kopi, dan penguasa ingin memonopoli hasil kopinya. Pasalnya kopi menjadi komoditas yang tengah naik daun dengan harga yang melambung.
Dampak kebijakan Wijkenstelsel & passenstlesel lebih terasa bagi etnis tionghoa dibanding etnis lain. Pasalnya mereka dihisap secara ekonomi, sebab harus diakui mereka adalah penggerak ekonomi yang cukup mahir tetapi dibatasi secara sosial.
Pemusatan etnis ini nyatanya menimbulkan rasa kebersamaan menjadi lebih solid, solidaritas, dan kesadaran kelompok. Dan etnis tionghoa sudah membuktikannya dalam coretan sejarah. Dan moga situasi sulit seperti sekarang dapat meningkatkan solidaritas kelompok, sebab berkaca pada masa lalu kita adalah negara yang saling tolong menolong dan gotong royong, apapun etnisnya.
Pada akhirnya kebijakan mengenai wilayah yang diambil penguasa selalu berulang dengan pernik yang berbeda tiap masanya. Ada yang karena politik, ekonomi hingga wabah. Namun satu yang tak perlu dirubah, bahwa solidaritas masyarakat tak boleh luntur.