Hantaman dan Kenangan Bersama Kakek

Sore hari itu langit menangis membasahi bumi. Memberikan kesegaran di setiap helai rumput yang tumbuh subur di pekarangan rumah. Saya sedang duduk di teras rumah ditemani secangkir kopi jagung yang sudah mulai mendingin. Hanya satu dua orang melintas di jalan depan rumah, hujan telah membuat orang-orang nyaman untuk tetap berada dirumah menjaga kehangatan suhu tubuhnya. Nampaknya itu tak berlaku bagi anak-anak. Kala hujan datang anak-anak tumpah ruah ke jalan  yang hanya muat satu mobil untuk menyambut hujan dan bersenang-senang dibawah hujan. Melihat anak-anak ceria dibawah hujan membawa lamunan saya tentang masa kecil saya.


Saya dilahirkan berkat kerjasama apik antara ibu dan ayah saya. Ayah saya berprofesi sebagai pedagang buah-buah di Pasar Majalaya dan ibu saya seorang ibu rumah tangga yang sesekali menemani ayah saya berjualan di pasar. Tepat pada malam sabtu 10 April  dikamar rumah telah lahir seorang bayi dengan bantuan seorang bidan yang dipanggil ke rumah. Tangisan yang bergelora seisi rumah menandakan babak awal perjalanan bocah laki-laki ini. Bayi laki-laki dengan bobot 3,5 Kg itu dinamai Rulfhi Alimudin Pratama Sunarya. Anak pertama dari tiga bersaudara.
Saya tumbuh dan dibesarkan di Majalaya, sekitar 30 Km ke arah selatan dari Kota Bandung. Dimana suasana khas pedesaan dengan sawah, kolam-kolam ikan dan keretek (delman) masih sangat gampang dijumpai. Sawah yang ketika musim kemarau datang akan berubah menjadi Giuseppe Meazza yang garenjul, tempat mengadu kemahiran mengocek si kulit bundar. Rumah saya terletak tak jauh dari lapang bola, hanya beberapa ratus meter dari sana. Rumah saya beralaskan hamparan adukan semen tanpa keramik, dengan tembok batu bata, beratap  genteng dari tanah liat dengan halaman yang tak terlalu luas, tempat berteduh dari terpaan angin dan panas matahari. Rumah saya dikelilingi oleh rumah sanak saudara. Disebelah timur dibatasi oleh rumah kakek dan disebelah barat dibatasi rumah paman .
Sewaktu kecil saya adalah sosok anak yang penakut, penurut dan juga cengeng. Saya sangat jarang sekali untuk keluar rumah. Saya lebih senang melihat anak-anak bermain dibalik kaca jendela dan lebih sibuk dengan mainan yang ada dirumah. Kalaupun saya main keluar itu karena diajak sepupu saya bernama Reza atau lebih sering saya panggil Akang. Saya dan Akang selalu bermain bersama, bahkan saya selalu ngintil dengan Akang, kemanapun akang pergi pasti saya ikut. Sewaktu Akang masuk TK rukun Wanita yang tak terlalu jauh dari rumah, saya menangis karena merasa ditinggalkan dan tidak ada teman bermain. Hingga akhirmya ibu saya mendaftarkan saya Ke Tk Rukun Wanita di usia 4 tahun. Di bangku Tk pun saya tak mau bergaul atau sebangku dengan orang lain. Saya hanya mau sebangku dengan kakak sepupu saya. Ketika saya di pindahkan ke bangku bersama orang lain saya akan menangis sejadi-jadinya. Dan saya akan berhenti menangis jika saya kembali duduk di sebelah Akang. Ketika di Tk ada temen saya bernama Eky yang sering sekali menjahili dan meledek saya karena saya anak yang cengeng, sampai suatu ketika saya menghajar Ekky dikelas sambil nangis. Entah datang keberanian darimana saya bisa mendaratkan pukulan ke wajah Ekky yang berkulit putih. Sejak dari itu Ekky tak pernah meledek saya. Bahkan ketika besar kelak Ekky jadi temen saya yang cukup akrab.
 

Saya dan Kakak Sepupu (Dari kiri Upi, Akang, Uji, Farhani)

Kenangan yang masih  saya ingat adalah kenangan bersama kakek. Kakek saya adalah seorang Kepala Sekolah di salah satu sekolah dasar di Majalaya. Jadi hampir dipastikan dikala tanggal muda datang, beliau akan mendapatkan gaji yang berasal dari pemerintah. Ketika gajian kakek saya selalu mengajak cucu-cucunya termasuk saya untuk pergi mengambil gajinya disalah satu bank. Kami kesana naik becak yang sudah dipesan oleh kakek. Saya pun selalu meminta untuk “di lahun” oleh kakek. Ketika sampai di bank kami selalu berlari kesana kemari karena ruangan yang luas menggoda sekali untuk kami berlari-lari. Dan yang paling saya tunggu adalah ketika hendak pulang setelah beres mengambil gaji, kakek saya selalu mampir dulu ke toko kelontong Ucong. Toko kelontong Ucong ini bisa dikatakan jadi toko kelontong yang lengkap di Majalaya. Ada Eskrim, yogurt, sampai kue-kue basah lengkap tersedia. Kami dibebaskan untuk berkeliaran dan mengambil makanan apapun yang kami mau.  Sehingga apapun yang berwarna cerah selalu kami bawa. Alhasil becak yang kami naiki penuh dengan keresek-keresek belanjaan yang isinya jajanan. Sesampai dirumah kami buka semua jajanan , wajah kakek begitu senang ketika cucunya bisa menikmati jajanan yang dibelinya. 
Upi, Akang, Teteh Farhani bersama Kakek dan Nenek
Diluar hujan mulai reda. Anak-anakpun sudah kembali kerumahnya masing-masing. Dan lamunan tentang masa kecilku mulai memudar seiring dengan datang pelangi yang menghiasi langit.
Rulfhi yang lebih sering dipanggil Upi sedang menyelesaikan kuliahnya dibidang Teknik. Sesekali jadi freelance alias tukang gambar rumah dan sedang menyibukan dirinya di Komunitas Aleut.
                                        
Share your love
Rulfhi Alimudin
Rulfhi Alimudin

Pekerja teks komersial dan penggambar rumah. Berminat sejarah, sastra, sepakbola dan properti.

Articles: 164

Leave a Reply