Image by mohamed Hassan from Pixabay |
Cuci mata, cuci perut, dan cuci darah barangkali ungkapan khas Indonesia. Tapi cuci gudang, cuci otak, dan cuci tangan niscaya merupakan ungkapan terjemahan dari pelbagai istilah bahasa asing. Usia cuci gudang baru kemarin sore. Kamus Besar Bahasa Indonesia pun belum mencatatnya. Istilah ini timbul bersamaan dengan tumbuhnya model pusat belanja sejenis toserba untuk menarik perhatian khalayak dan merayu pembelinya. Yang memopulerkannya kayaknya para pandai pasar, pelaku humas yang belajar teori dagang dengan pengantar bahasa Inggris. Istilah ini diterjemahkan dari perkataan bahasa Inggris clearance sale.
Sudah dapat diterka bahwa clearance yang turun dari clear, maksudnya bersih, dihubungkan dengan penjualan cepat untuk membersihkan gudang. Jarang diketahui oleh pemakai bahasa Inggris di Indonesia bahwa istilah clearance sale berkembaran dengan istilah bahasa Turki indirimli berarti membawa ke luar atau mengurangkan isi, dan satislar dari satilik berarti dijual. Sebelum cuci gudang terpakai, perkataan yang umum dipakai di dunia dagang adalah obral, dari salah kaprah mengartikan kata bahasa Belanda overal yang artinya ‘semua tempat, di mana-mana, seluruhnya’. Padahal, obral sendiri dalam bahasa Belanda adalah uitverkoop. Hebatnya, yang paling hobi memasang spanduk “obral besar” di depan toko adalah pedagang-pedagang kain asal India.
Cuci otak, yang telah dibakukan dalam kamus resmi bahasa Indonesia, merupakan terjemahan hurufiah dari istilah bahasa Inggris Brain Washing. Istilah Inggris ini sendiri berasal dari bahasa Cina, hsi nao, yaitu metode re-edukasi faham komunis yang ditanamkan oleh penguasa Cina–meliputi warga sipil, tentara ataupun warga asing yang tertangkap–memercayai komunisme sebagai ajaran paling benar. Praktik ini lebih dikenal meluas setelah penguasa Vietnam pada tahun 1969 memberlakukannya kepada tentara Amerika yang ditahan selama perang di negeri itu. Setelah itu, jangan lupa, cuci otak pun pernah menggejala di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru.
Lantas cuci tangan, sebagai istilah, dilintaskan oleh Belanda dari bahasanya di masa penjajahannya di Indonesia. Istilah Belanda itu sendiri sebetulnya bukan ungkapan asli bahasanya. Bahasa Belanda mengambil alih dari sebuah kisah dalam kitab berbahasa Latin yang dicetak oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1455 dari sumber filologi Yunani, Kata Maththaion. Terjemahan bahasa Belanda atas karya sastra lama itu dibuat oleh sebuah tim sinode di Dodrecht dalam tahun 1618-1619. Pada karya itu dikisahkan tentang seorang gubernur Romawi, Pontius Pilatus, yang tidak tegas pendiriannya dan karena itu menyebabkan terjadinya tragedi.
Teks asli Yunani tentang kisah yang menyangkut istilah cuci tangan itu adalah “labon udor apenupsato tas kheiras katenanti tou oklou legon: Atoos eimi apo tou animatos toutou hymeis opestehe”. Kalimat ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda menjadi “nam hij water en wies de handen voor de schare zeggende: Ik ben onschuldig aan het bloed dezes rechtvaardigen”. Artinya, “dia mengambil air di hadapan khalayak dan mencuci tangan seraya berkata: Aku tidak bersalah atas darah orang ini.” Dari kisah tentang upaya penguasa untuk menghindar dari tanggung jawabnya itulah lahir istilah dalam bahasa Belanda wies de handen atau handen wassen yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi cuci tangan.
Kini di antara semua urusan cuci-mencuci, yang paling populer sudah pasti cuci tangan. Soalnya, cuci tangan tampaknya merupakan salah satu kepiawaian-keterampilan-kerajinan pejabat-pejabat Indonesia menghadapi hukum setelah makzul: ketika mereka diminta pertanggungjawaban atas uang negara yang mereka cuci selam berkuasa.
Kompas, 23 Maret 2002
Ditulis oleh Remy Sylado untuk rubrik bahasa Kompas yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Inul Itu Diva, Kumpulan Rubrik Bahasa Kompas. Remy sebagai seniman andal telah menghasilkan buku Dasar-dasar Dramaturgi (1981), Menuju Apresiasi Musik (1983), Mengenal Teater Anak (1984), Seni Akting, dan Ensiklopedia Musik (1989).