Setiap hari dari remaja sampai orang dewasa di Indonesia aktif menggunakan media sosial. Berbagai macam pilihan platform tersedia seperti facebook lalu ada instagram, redit, x, tumblr dan tiktok. Ada manfaat menggunakan media sosial terutama berkaitan dengan komunitas online dan penggunakan media sosial yang cukup tinggi erat kaitannya dengan tingkat depresi.
Sisi Positif: Media Sosial dan Komunitas
Sebagai seorang yang mempelajari tentang fandom saya telah menulis tentang nilai komunitas online untuk fans sebagai ajang pertemanan dan berbagi antusiasme yang sama. Komunitas dengan orang orang yang menjalin hubungan sosial dapat membantu untuk hidup lebih lama, mengelola stress lebih baik dan merasakan pengalaman yang membahagiakan. Perasaan memiliki muncul karena menjadi bagian dari fandom atau komunitas tertentu dapat meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi rasa kesepian. Berbagi kebahagiaan dengan orang lain baik secara langsung atau online sebagai bentuk rekreasi. Sebuah penelitian menunjukan rekreasi dapat menumbuhkan empati, mengurangi stress, meningkatkan optimisme dan meningkatkan system kekebalan tubuh.
Meskipun ada manfaat-manfaat tersebut ada kekhawatiran sejak awal kemunculan media sosial dan platform online lainnya. Kontroversi siapa yang mengatur arus informasi dan disinformasi dan setiap algoritma yang memutuskan apa yang kita lihat. Hingga sejauh mana data pribadi pengguna dikumpulkan. Pada minggu lalu ada ancaman pemblokiran Tiktok yang membuat para penggunanya panik dan khawatir platform tempat mereka membangun komunitas akan hilang. Respon emosional dari para pengguna tiktok mengindikasikan betapa berharganya media sosial yang sudah seperti “rumah”
Di sisi lain ada kekhawatiran penggunaan media sosial terhadap kesehatan mental. Kehidupan sehari-hari kita telah berbeda dari 30 tahun yang lalu kebanyakan waktu dihabiskan untuk berinteraksi dengan orang lain secara online dan mencari apa yang terjadi di berbagai belahan dunia. Bagi penggemar musik, klub sepakbola, film dan buku menghabiskan waktu di komunitas virtual adalah cara agar tetap terhubung dengan penggemar yang lain. Tapi, apakah waktu yang dihabiskan untuk media sosial membawa dampak negatif?
Sisi Negatif: Dampak Media Sosial dan Kesehatan Mental

Penelitian sebelumnya telah menemukan penggunaan media sosial yang tinggi pada remaja dan dewasa menunjukan tingkat depresi dan kurangnya rasa bahagia. Sebuah studi yang diterbitkan di JAMA Network menemukan penggunaan media sosial pada tingkatan lebih jauh lagi berkaitan dengan kesehatan mental seperti muncul rasa jengkel/iritabilitas.
Iritabilitas didefinisikan sebagai proses emosional yang ditandai dengan keadaan afektif negatif yang menyebabkan orang lebih rentan terhadap kemarahan atau kekesalan. Iritabilitas dapat terasa sulit dikendalikan dan respon emosional dapat terjadi dengan provokasi minimal. Skala iritabilitas yang digunakan untuk penelitian ini menanyakan kepada peserta, misalnya, apakah mereka sedang pemarah, merasa seperti akan marah, terganggu oleh hal-hal lebih dari biasanya, atau merasa seperti orang lain membuat mereka kesal. Meskipun mungkin terdengar relatif ringan, iritabilitas berdampak pada fungsi sehari-hari, terutama hubungan sosial dan kesuksesan dalam pekerjaan. Sebagian besar dari kita dapat mengingat berinteraksi dengan orang yang mudah tersinggung, jadi asosiasi tersebut tidak akan mengejutkan. Tingkat iritabilitas yang lebih tinggi juga dikaitkan dengan hasil yang lebih serius, termasuk risiko perilaku kekerasan dan pikiran untuk bunuh diri.
Para peneliti dalam studi ini menemukan bahwa penggunaan media sosial yang sering dikaitkan dengan skor yang jauh lebih tinggi pada penilaian tingkat kejengkelan, terutama bagi orang yang sering memposting. Artinya, ada “hubungan dosis-respons” di mana semakin banyak waktu yang dihabiskan secara daring, terutama sering memposting dan terlibat secara aktif, dibandingkan dengan mengonsumsi informasi secara pasif tanpa memposting, dikaitkan dengan tingkat kejengkelan yang lebih tinggi. Ketika pengguna melaporkan berada di platform media sosial selama “sebagian besar hari,” hubungannya sangat kuat. Ada juga hubungan yang lebih kuat ketika pengguna terlibat dalam diskusi politik yang sering secara daring (dibandingkan dengan mengonsumsi berita secara pasif, termasuk berita politik). Tidak peduli seberapa terlibatnya seseorang dalam politik, jumlah postingan dan diskusi aktif tentang politik yang dikaitkan dengan tingkat kejengkelan.
Studi ini berhati-hati untuk memperhitungkan gejala kesehatan mental lainnya, termasuk depresi dan kecemasan, tetapi itu adalah studi korelasional yang tidak dapat mengatakan bahwa media sosial menyebabkan kejengkelan, hanya saja ada hubungan antara jenis penggunaan media sosial tertentu dan tingkat kejengkelan.
Memaksimalkan Manfaat Media Sosial
Terutama sekarang, di tengah pergolakan sosial politik di seluruh dunia, banyak dari kita mungkin akan merasa lebih “marah” dari biasanya atau “hampir marah” dari waktu ke waktu. Yang mungkin tidak kita sadari adalah bagaimana penggunaan media sosial dapat memperburuk emosi tersebut. Di sisi lain, ada manfaat kesehatan mental bagi penggemar dengan menjadi bagian dari komunitas daring yang ada di media sosial. Bagaimana kita dapat mempertahankan manfaat tersebut sambil membatasi kejengkelan yang dapat berdampak negatif pada hubungan dan kesuksesan kita?
Penelitian itu sendiri memberikan beberapa petunjuk bermanfaat. Frekuensi dan durasi penggunaan media sosial penting. Daripada mengangkat telepon untuk memeriksa media sosial setiap beberapa menit sepanjang hari, sisihkan waktu (atau beberapa waktu) untuk memasuki komunitas daring tempat Anda menjadi bagiannya. Penelitian menunjukkan bahwa ketika waktu luang dipilih secara sadar, dan ketika kita dapat menikmatinya tanpa merasa bersalah, manfaat kesehatan mentalnya paling besar. Menyisihkan waktu untuk media sosial dan menganggapnya sebagai waktu luang yang terencana memungkinkan waktu itu dialami sebagai sesuatu yang menyenangkan. Berbincanglah dengan penggemar lain. Tonton beberapa cuplikan selebritas favorit Anda atau klip dari acara atau film kesayangan. Bernyanyilah bersama lagu dan video yang membuat Anda gembira. Ikuti berita terbaru di fandom yang Anda ikuti. Aktivitas ini mengurangi stres dan meningkatkan rasa sejahtera.
Banyak dari kita mendapatkan setidaknya sebagian berita, politik dan lainnya, dari media sosial. Sayangnya, algoritma platform hampir memastikan bahwa kita semua melihat perspektif yang tidak kita setujui, dan itu bisa membuat stres. Membatasi waktu yang dihabiskan untuk menggulir dapat membantu mengurangi banyaknya informasi yang bermuatan emosi. Seperti yang ditemukan dalam penelitian, sekadar mengonsumsi informasi politik kurang dikaitkan dengan rasa kesal daripada keterlibatan aktif melalui posting—dengan kata lain, jika Anda merasa harus berdebat dengan semua orang yang “salah di internet”, lebih banyak waktu di media sosial akan dikaitkan dengan lebih banyak rasa kesal. Saya pikir sebagian besar dari kita telah mengalami betapa sulitnya untuk tidak terlibat, bahkan jika Anda menduga Anda mungkin bertengkar (sia-sia)
Terakhir, sadari cara kamu terlibat dengan media sosial. Kurasi umpan untuk menemukan orang lain yang memiliki minat yang sama. Bersikaplah hati-hati saat dan berapa lama kamu terlibat. Kita semua pernah merasa “terhisap” ke dalam media sosial, dan mendapati diri kita masih duduk di sana sambil menggulir layar berjam-jam kemudian. Jika perlu, atur pengatur waktu atau atur akses Anda sendiri untuk membatasi waktu media sosial. Tanyakan kepada diri sendiri, saat waktu itu berakhir, bagaimana perasaan saya? Apakah saya lebih atau kurang pemarah daripada saat saya duduk untuk beristirahat? Apakah ini memperkaya hidup saya atau membuat saya kurang bersemangat untuk berinteraksi dengan orang-orang yang saya sayangi dan melakukan pekerjaan yang penting bagi saya?
Media sosial adalah alat untuk bersantai, untuk bersenang-senang, untuk komunitas, dan juga untuk informasi. Seperti alat lainnya, kita dapat memastikan untuk menggunakannya dengan bijak.
*
Artikel ditulis oleh Lynn Zubernis, Ph.D. yang diterjemahkan dari Psychology Today.